Swasembada Palsu, Kaltim Terancam

SAMARINDA – Swasembada pangan di Kalimantan Timur (Kaltim) masih menghadapi tantangan serius meski laporan resmi menunjukkan hasil positif. Kasus beras oplosan yang sempat mencuat menjadi pengingat bahwa ketergantungan tinggi pada pasokan dari luar wilayah menimbulkan kerentanan, bahkan hanya dalam hitungan hari.

Wakil Gubernur Kaltim, Seno Aji, menegaskan bahwa kondisi ini harus dijadikan momentum untuk mempercepat produksi beras lokal. “Memang saya akui tadi hasilnya belum maksimal, padahal target kita cukup jelas, yakni bagaimana produksi lokal bisa memenuhi kebutuhan masyarakat tanpa harus terus mendatangkan dari luar daerah. Saat ini progres Opla sudah cukup baik, kebutuhan beras kita bisa dipenuhi sekitar 50 persen, tapi kita masih kekurangan 50 persen lagi. Ke depan, target kebutuhan beras kita kurang lebih mencapai 350 ribu ton,” ujarnya usai menghadiri Rapat Koordinasi Ketahanan Pangan di Kantor Gubernur Kaltim, Rabu (01/10/2025).

Menurutnya, secara indeks ketahanan pangan, Kaltim memang mencatat angka di atas 80 persen. Namun, fakta di lapangan menunjukkan sebagian besar beras masih didatangkan dari luar. “Kemarin saat terjadi kasus beras oplosan, kita benar-benar merasakan dampaknya. Hanya dalam waktu seminggu tanpa pasokan beras, kita sudah kelabakan karena cadangan yang kita miliki tidak cukup. Dari pengalaman itu, kita ingin mewujudkan kemandirian pangan, agar beras untuk Kaltim bisa dihasilkan oleh petani Kaltim, dan kembali untuk masyarakat Kaltim sendiri,” jelasnya.

Seno menambahkan, target jangka pendek yang ingin dicapai adalah swasembada beras dalam waktu satu tahun dengan produksi 350 ribu ton. Untuk mendukung hal tersebut, Bulog juga menyiapkan pembangunan 100 gudang di seluruh Indonesia. “Kita ingin Kaltim mendapat bagian, paling tidak di tiga atau empat kabupaten. Usulan pertama ada di Kutai Timur, lalu Mahakam Ulu, Kutai Kartanegara, dan Bontang,” katanya.

Namun, ia mengakui perubahan pola pertanian menjadi tantangan tersendiri. “Tentu ini akan mengubah pola pertanian masyarakat. Mereka yang biasanya menanam padi ladang, ke depan diarahkan pada pengelolaan sawah. Untuk Mahakam Ulu, prosesnya memang harus bertahap, tapi target 400 sampai 500 hektare saya kira realistis. Dengan dukungan siklus pengairan yang baik, mudah-mudahan program ini bisa berjalan dan hasilnya benar-benar dirasakan masyarakat,” pungkasnya.

Kasus beras oplosan seolah membuka mata semua pihak bahwa kemandirian pangan tidak bisa hanya menjadi jargon. Perlu kerja keras lintas sektor, mulai dari perbaikan tata kelola pertanian, infrastruktur, hingga penguatan cadangan pangan. Kritik utama bukan hanya pada lambatnya realisasi swasembada, tetapi juga pada pentingnya konsistensi kebijakan agar masyarakat tidak lagi bergantung pada beras impor dari luar daerah. []

Penulis: Rifky Irlika Akbar | Penyunting: Rasidah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com