Tambang Berkedok Pembangunan: Siapa yang Mendapat Untung, Siapa yang Menanggung Rugi? Studi Kasus Kalimantan Timur

Oleh Fifi Hidaya Aisa Marjan, Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Mulawarman

Kalimantan Timur (Kaltim) selama bertahun-tahun dipromosikan sebagai “lumbung energi” Indonesia. Pada 2024, Kalimantan menyumbang sekitar 688 juta ton batubara, atau 82% produksi nasional, dengan Kaltim sebagai penyumbang utama sekitar 368 juta ton (Kementerian ESDM, 2024).

Angka ini menunjukkan besarnya peran sektor minerba bagi negara. Namun, dibalik retorika pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, terdapat pertanyaan besar: pembangunan untuk siapa? Dan siapa yang menanggung kerusakannya? Secara ekonomi, kontribusi minerba memang signifikan.

PNBP sektor minerba mencapai puluhan triliun rupiah setiap tahun (Kemenkeu, 2024). Tetapi data ini tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi warga Kaltim. Di Kutai Kartanegara (Kukar), salah satu kabupaten dengan IUP terbanyak, masih terdapat desa yang belum teraliri listrik sepenuhnya.

Laporan The Guardian (2023) menunjukkan bahwa beberapa desa di Kukar dan Kutai Timur hidup berdampingan dengan perusahaan tambang raksasa, tetapi tetap kekurangan listrik, air bersih, dan jalan layak. Seorang warga di Loa Janan mengatakan, “Perusahaan mendapat keuntungan, kami hanya kebagian debu.”

Secara ekologis, dampaknya jauh lebih besar dan menghancurkan. Kajian AEER (2022) mencatat ada 310 konsesi tambang di Kaltim dengan luas sekitar 1,5 juta hektar, tiga kali luas Jakarta. Banyak konsesi ini berada di kawasan hutan lindung, daerah resapan air, dan habitat orangutan.

Pembukaan lahan tambang memicu deforestasi, hilangnya tutupan hutan, dan rusaknya daerah aliran sungai. DAS Karang Mumus di Samarinda, misalnya, mengalami degradasi parah akibat alih fungsi lahan tambang, yang membuat banjir menjadi bencana tahunan. Kerusakan paling mengkhawatirkan terjadi di Tahura Bukit Soeharto, kawasan penyangga ekologis Ibu Kota Nusantara (IKN). Investigasi Walhi & JATAM 2023 menemukan aktivitas tambang ilegal di area konservasi itu, menyebabkan lanskap rusak dan sedimentasi sungai meningkat.

Pemerintah memperkirakan biaya rehabilitasi mencapai Rp1 triliun (KLHK, 2024). Ironisnya, IKN dipromosikan sebagai “kota hijau dan berkelanjutan,” tetapi ekosistem penyangganya justru sudah dipreteli sebelum ibu kota baru benar-benar berdiri.

Lubang tambang yang ditinggalkan juga menjadi masalah besar. Data JATAM Kaltim (2023) menyebut lebih dari 300 lubang tambang belum direklamasi, banyak berada dekat permukiman. Beberapa di antaranya telah menelan korban jiwa anak-anak. Reklamasi sering tidak dilakukan karena lemahnya pengawasan dan minimnya sanksi. Padahal menurut aturan, setiap perusahaan wajib menyetor dana reklamasi sebelum beroperasi. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa regulasi sering kali tunduk pada kepentingan korporasi. Dari sisi sosial, tumpang tindih perizinan menjadi sumber konflik. Banyak Izin Usaha Pertambangan (IUP) menabrak lahan pertanian, hutan adat, dan rumah warga. Proses perizinan juga sering tidak melibatkan masyarakat secara bermakna. Koordinator JATAM Kaltim pernah mengatakan, “Di Kaltim, perusahaan lebih dulu diberi ruang hidup daripada manusianya.” Ketidakadilan ini menunjukkan bahwa pembangunan berbasis ekstraksi menempatkan warga sebagai pihak yang paling tidak terdengar suaranya.

Melihat kompleksitas ini, ada beberapa langkah mendesak yang harus dilakukan. Pertama, pemerintah perlu melakukan audit menyeluruh terhadap setiap IUP, terutama yang berada dalam radius 50 km dari IKN dan DAS kritis seperti Sungai Mahakam dan Karang Mumus. Audit harus melibatkan KPK dan BPK untuk menghindari konflik kepentingan. Kedua, penting menetapkan moratorium izin tambang di seluruh kawasan hutan lindung dan area penyangga IKN. Ketiga, kewajiban reklamasi harus diawasi oleh lembaga independen, bukan hanya laporan perusahaan. Lebih jauh, Kaltim membutuhkan diversifikasi ekonomi.

Ketergantungan pada batubara adalah jalan buntu jangka panjang. Pengembangan energi terbarukan, industri pengolahan lokal, pertanian modern, dan pariwisata berbasis alam dapat menjadi alternatif yang lebih berkelanjutan. Pada akhirnya, pembangunan sejati bukan sekadar angka produksi batubara atau pemasukan negara.

Pembangunan harus menjamin kelestarian ekologis dan keadilan sosial bagi warga di wilayah yang menjadi sumber kekayaan itu. Jika model pembangunan tetap seperti sekarang, maka Kaltim akan terus menjadi halaman belakang yang kotor bagi kemegahan IKN. Pertanyaannya kini sederhana: Apakah kita rela masa depan Kaltim dipertaruhkan demi keuntungan segelintir elite?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com