SEOUL – Dalam dua dekade mendatang, sebanyak 43 persen pekerjaan di Korea Selatan diperkirakan akan tergantikan oleh sistem otomatisasi. Perubahan ini ditandai dengan maraknya toko, kafe, dan bar yang beroperasi tanpa kehadiran staf pelayan. Proses menuju otomatisasi tersebut telah dimulai sejak beberapa tahun terakhir.
Fenomena ini terlihat jelas di pinggiran Kota Seoul. Di sana, sejumlah toko swalayan tetap buka 24 jam tanpa ada pegawai yang berjaga. Salah satu contohnya adalah toko es krim otomatis yang sepenuhnya mengandalkan mesin untuk transaksi. Tanpa kehadiran satpam atau pelayan, pembeli cukup memilih produk dan membayar melalui mesin yang tersedia.
Tidak jauh dari toko tersebut, terdapat gerai yang menjual alat tulis, makanan hewan, hingga sushi, juga tanpa staf. Bahkan di wilayah pusat kota yang lebih padat, sebuah bar bernama Sool 24 beroperasi tanpa pegawai. “Untuk mengoperasikan bar sebesar ini dan mendapatkan laba, saya semestinya mempekerjakan 12 hingga 15 staf, namun saya hanya membutuhkan dua orang,” ujar Kim Sung-rea, pendiri bar tersebut.
Kim menjelaskan bahwa keputusan mengadopsi sistem tanpa staf membuatnya dapat fokus pada pengembangan bisnis lain. Ia sebelumnya mengelola bar konvensional, namun beralih ke sistem otomatis setelah pendapatan tidak sesuai harapan. Kini, profit yang ia peroleh meningkat signifikan.
Pendorong utama otomatisasi di Korea Selatan adalah rendahnya angka kelahiran serta meningkatnya upah minimum. Tingkat kesuburan di negara tersebut berada di titik terendah secara global, dengan rata-rata hanya 0,72 anak per perempuan pada 2023 dan sedikit naik menjadi 0,75 pada 2024. Padahal, untuk menjaga stabilitas populasi, dibutuhkan tingkat kesuburan 2,1.
Naiknya biaya tenaga kerja turut menjadi faktor penting. Kim mengungkapkan bahwa untuk mempekerjakan satu pekerja, ia harus membayar sekitar 115.000 rupiah per jam. “Alasan utama saya untuk tidak punya pegawai adalah peningkatan upah minimum,” kata Kim. “Ada dua cara untuk menghadapi tantangan ini: robotika atau otomatisasi dan kemudian peniadaan karyawan.”
Di sisi lain, pandemi Covid-19 turut mempercepat adopsi sistem otomatisasi. Selain mengurangi beban biaya pegawai, sistem ini juga memudahkan pelaku usaha dalam mengikuti protokol kesehatan saat pembatasan sosial diberlakukan.
Menurut Cho Jung-hun, anggota parlemen dan Komite Tetap Pendidikan, generasi muda saat ini cenderung menghindari pekerjaan yang dianggap kotor, berbahaya, dan melelahkan—dikenal sebagai pekerjaan 3D. Mereka lebih memilih membangun usaha sendiri atau bekerja di sektor teknologi tinggi. “Statistik menunjukkan kita harus menghadapi penurunan tenaga kerja di tahun-tahun mendatang,” ujarnya.
Kondisi ini membuka peluang bagi pelaku usaha seperti Kwon Min-jae, CEO Brownie, perusahaan yang mengelola toko tanpa staf. Dimulai pada 2022, kini ia mengelola lebih dari 100 toko, mulai dari binatu otomatis hingga toko vape. “Kami memiliki staf lokal yang bisa mengunjungi beberapa toko dalam sehari,” katanya. “Pemilik toko lebih memilih membayar kami untuk mengurus toko mereka daripada melakukannya sendiri.”
Meski beroperasi tanpa pegawai, tingkat pencurian di toko-toko ini tergolong rendah. “Bahkan ada kasus ketika orang lupa membayar, mereka menelepon saya untuk melunasi tagihan,” jelas Kim. Ia menilai kerugian akibat pencurian jauh lebih kecil dibandingkan biaya mempekerjakan petugas keamanan.
Dengan pesatnya kemajuan teknologi, semakin banyak pekerjaan yang kemungkinan besar tidak akan lagi memerlukan tenaga manusia. Jika tren ini terus berlangsung, pada 2032, Korea Selatan diperkirakan membutuhkan hampir 900.000 pekerja tambahan untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi sebesar dua persen.
Kendati sebagian pihak menyuarakan kekhawatiran atas masa depan pasar tenaga kerja, banyak pelaku usaha justru optimistis terhadap prospek ekonomi baru yang lahir dari gelombang otomatisasi ini. []
Redaksi11
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan