Tragedi MH17, ICAO Tegaskan Rusia Harus Tanggung Jawab

PADA 17 Juli 2014, dunia dikejutkan oleh tragedi mengerikan yang menimpa penerbangan Malaysia Airlines MH17. Pesawat Boeing 777 yang terbang dari Amsterdam menuju Kuala Lumpur itu ditembak jatuh di langit Ukraina Timur, di tengah konflik antara pasukan Ukraina dan separatis pro-Rusia. Seluruh 298 penumpang dan awak tewas seketika. Peristiwa itu bukan sekadar kecelakaan, tapi menjadi salah satu simbol paling kelam dari ketegangan geopolitik yang meletup di Eropa Timur sejak Perang Dingin berakhir.

Bertahun-tahun setelah tragedi, penyelidikan demi penyelidikan dilakukan. Kesaksian digali, bukti dikumpulkan, hingga akhirnya tanggung jawab diarahkan kepada Rusia. Dan pada 2025 ini, Dewan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO)—sebuah badan di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)—mengambil langkah penting. ICAO secara resmi menyatakan bahwa Rusia bertanggung jawab atas jatuhnya MH17.

Melansir Reuters, ICAO menyampaikan bahwa bentuk pertanggungjawaban akan dipertimbangkan dalam beberapa pekan ke depan. Walau ICAO tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat seperti pengadilan internasional, keputusan ini memiliki bobot moral dan politik yang besar. ICAO adalah badan yang menetapkan standar penerbangan global, dan keputusan ini menjadi tekanan diplomatik tersendiri bagi Rusia.

“Keputusan ini merupakan langkah penting menuju penegakan kebenaran dan pencapaian keadilan serta akuntabilitas bagi semua korban penerbangan MH17, serta keluarga dan orang-orang terkasih mereka,” ujar Menteri Luar Negeri Belanda, Caspar Veldkamp, dalam pernyataannya.

Lebih jauh, Veldkamp menegaskan bahwa keputusan ini adalah pesan kuat kepada komunitas internasional. “Negara tidak dapat melanggar hukum internasional tanpa hukuman setimpal,” tegasnya.

Senada dengan Belanda, Australia juga menyambut baik langkah ICAO. Menteri Luar Negeri Australia Penny Wong mendesak badan penerbangan sipil dunia itu untuk bergerak cepat dan menegaskan posisi internasional terhadap tindakan Rusia.

“Kami menyerukan Rusia untuk akhirnya menghadapi tanggung jawabnya atas tindakan kekerasan yang mengerikan ini dan memberikan ganti rugi atas perilakunya, sebagaimana diwajibkan menurut hukum internasional,” kata Wong.

JEJAK TRAGEDI

Tragedi MH17 tak bisa dilepaskan dari pergolakan geopolitik yang lebih luas. Awalnya, pada Februari 2014, Presiden Ukraina pro-Rusia Viktor F. Yanukovych digulingkan oleh rakyatnya melalui serangkaian demonstrasi besar-besaran. Ukraina kemudian menjalin kedekatan dengan Barat dan menandatangani perjanjian dagang dengan Uni Eropa. Keputusan ini memicu kemarahan Kremlin.

Sebagai respons, Rusia mencaplok wilayah Krimea dan memperkuat dukungan terhadap separatis pro-Rusia di Ukraina Timur, khususnya di wilayah Donetsk dan Luhansk. Di sanalah MH17 mengakhiri penerbangan terakhirnya, dalam perjalanan dari Amsterdam menuju Kuala Lumpur.

Pada 17 Juli 2014, saat melintasi wilayah udara Ukraina Timur, pesawat Malaysia Airlines MH17 dihantam oleh rudal permukaan-ke-udara jenis BUK buatan Rusia. Pesawat itu jatuh dan hancur berkeping-keping di wilayah Hrabove, Donetsk. Puing-puingnya tersebar di area seluas lebih dari 50 kilometer persegi.

“Pengadilan berpendapat bahwa MH17 dijatuhkan oleh tembakan rudal BUK dari ladang pertanian dekat Pervomaisk, menewaskan seluruh 283 penumpang dan 15 awak pesawat,” ungkap Hakim Ketua Hendrik Steenhuis dalam persidangan yang digelar di Belanda pada 17 November 2022.

Putusan itu bukan tanpa bukti kuat. Pada 2016, tim investigasi internasional yang dipimpin oleh Belanda menyimpulkan bahwa sistem rudal BUK tersebut diangkut dari Rusia atas permintaan pasukan pemberontak. Setelah menembak MH17, sistem rudal itu kembali dikirim ke Rusia malam harinya.

Dalam persidangan pada 2020, empat tersangka yang dianggap terlibat diadili secara in absentia. Tiga di antaranya divonis bersalah: dua warga negara Rusia dan satu warga Ukraina. Mereka diyakini memiliki keterlibatan langsung dalam penembakan rudal tersebut, meski keberadaan mereka tak diketahui secara pasti.

Meski Rusia membantah segala tuduhan dan menyebut hasil investigasi itu bias, dunia internasional punya pandangan berbeda. Pemerintah Belanda pun melanjutkan langkah hukum ke Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa pada 2020, dengan tuduhan bahwa Rusia melanggar hak hidup para korban MH17.

MH17 adalah luka terbuka bagi dunia, terutama bagi keluarga korban. Warga dari 17 negara menjadi korban, dengan mayoritas dari Belanda dan Australia. Setiap tahun, peringatan diadakan, bunga diletakkan di tugu peringatan, dan nama-nama yang gugur terus disebut satu per satu.

Salah satu keluarga korban, Piet Ploeg, yang kehilangan saudaranya, keponakan, dan ipar, menyatakan bahwa proses hukum ini memberi secercah harapan. “Kami tahu kami tidak akan pernah mendapatkan mereka kembali. Tapi kebenaran dan keadilan tetap harus ditegakkan,” ujarnya kepada media lokal Belanda.

Lebih dari sekadar hukuman, keluarga korban menuntut pengakuan dan pertanggungjawaban. Mereka ingin dunia tahu bahwa MH17 bukan kecelakaan biasa, melainkan akibat konflik bersenjata yang menembus batas negara dan menewaskan warga sipil yang tak berdosa.

DIPLOMASI GLOBAL

Keputusan ICAO kali ini menjadi tekanan tambahan terhadap Rusia. Meski badan ini tak memiliki kekuatan hukum, namun ICAO mampu menciptakan tekanan diplomatik global yang tidak bisa diabaikan. Sebagai badan yang menetapkan standar penerbangan sipil internasional, ICAO memiliki 193 negara anggota—termasuk Rusia.

Dalam sejarahnya, ICAO memang jarang mengambil sikap tegas terhadap negara anggota secara langsung. Namun MH17 menjadi pengecualian. Keputusan ICAO ini menunjukkan bahwa dunia penerbangan sipil tidak bisa diam jika konflik militer menelan korban dari sektor sipil yang seharusnya terlindungi.

Belanda dan Australia juga mendorong ICAO untuk memaksa Rusia membuka negosiasi formal terkait bentuk kompensasi atau pertanggungjawaban. Langkah ini bisa menjadi awal dari penyelesaian damai melalui jalur diplomatik, meski jalan masih panjang dan penuh hambatan.

Meski waktu terus berjalan, tragedi MH17 tetap menjadi luka yang belum sembuh. Putusan ICAO dan pengadilan Belanda memang penting, namun masih jauh dari kata selesai. Dunia internasional kini menanti: apakah Rusia akan mengakui kesalahannya? Apakah keluarga korban akhirnya bisa mendapat penghiburan berupa keadilan yang nyata?

Lebih dari sekadar penjatuhan sanksi atau kompensasi finansial, tragedi MH17 adalah pengingat keras bahwa konflik geopolitik tak boleh memakan korban sipil. Dunia harus bersatu untuk memastikan bahwa langit tetap menjadi ruang aman bagi semua. []

Redaksi001

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com