NUNUKAN – Sudah tiga bulan berlalu sejak kecelakaan maut speed boat di perairan dekat Dermaga Tradisional Aji Putri, Nunukan, Kalimantan Utara, merenggut nyawa Siti Nurharisa (24) dan Rexsi Joseph Kabelen (23). Namun, alih-alih mendapatkan kepastian hak, keluarga korban justru terus dihantui rasa kecewa.
Kedua korban meninggal dalam tragedi pada Juni lalu. Hingga kini, janji santunan yang pernah dibuat pemilik SB Borneo Ekspress 02, Supriyono, bersama nakhoda Mohammad Sabir, tidak kunjung terealisasi.
“Sejak hari itu kami berusaha bersabar, tapi sampai sekarang tidak ada sedikitpun tanggung jawab yang dijalankan. Padahal semuanya sudah tertulis hitam di atas putih,” ujar Sopian Atung, paman korban, ketika memimpin keluarganya mendatangi Kantor KSOP Nunukan, Rabu (01/10/2025).
Perjanjian damai sebenarnya sudah disepakati pada 27 Agustus 2025. Dalam perjanjian itu, pemilik kapal bersedia menanggung biaya pengobatan, pemakaman, serta memberikan santunan kepada keluarga korban. Sebagai imbalannya, pihak keluarga sepakat untuk tidak menempuh jalur hukum. Namun, janji itu hanya berakhir di atas kertas.
Kekecewaan semakin dalam ketika keluarga mengetahui proses hukum dinilai tidak berpihak. Nakhoda kapal bisa bebas dengan jaminan pengacara, sementara kapal yang sempat diamankan justru dikembalikan dengan status “pinjam rawat.”
“Yang meninggal anak kami, tapi yang leluasa justru orang yang diduga bersalah. Santunan tidak ada, kapal pun dilepas. Itu benar-benar menyakitkan,” lanjut Sopian.
Keluarga korban menegaskan, kedatangan mereka ke KSOP bukan untuk menyoal proses hukum, melainkan menuntut kepastian dari janji yang dibuat sendiri oleh pemilik kapal. Mereka bahkan memberi ultimatum 1×24 jam untuk merealisasikan kesepakatan tersebut. “Kalau tidak ada jawaban, jangan salahkan kami kalau masalah ini melebar. Kami hanya minta keadilan,” tegasnya.
Menanggapi protes itu, Kepala KSOP Nunukan, Kosasi, berjanji akan meneruskan tuntutan keluarga kepada KSOP Tarakan, yang disebut sebagai pihak penanggung jawab.
“Mungkin kami kurang mengetahui adanya kesepakatan itu. Tapi saya akan segera tanyakan dan usahakan ada kejelasan,” janji Kosasi.
Ia juga menjelaskan bahwa pembebasan nakhoda kapal dilakukan karena adanya jaminan dari pengacara serta berkas perkara yang belum lengkap, termasuk keterangan saksi dari RSUD Nunukan. Sementara itu, status speed boat SB Borneo Ekspress 02 kini berada pada posisi “pinjam rawat” untuk kebutuhan perawatan kapal.
Meski ada dinamika di ranah hukum, keluarga korban menegaskan inti masalah terletak pada tanggung jawab moral. Bagi mereka, janji santunan bukan sekadar dokumen formal, melainkan bentuk penghormatan terakhir kepada korban yang kehilangan nyawa.
Mereka berharap pemilik kapal segera menepati janji agar duka keluarga tidak semakin dalam. “Kami hanya ingin janji ditepati. Itu saja,” ucap salah satu anggota keluarga.
Tragedi ini menjadi sorotan tidak hanya karena menelan korban jiwa, tetapi juga karena memperlihatkan lemahnya kepastian bagi keluarga korban kecelakaan laut di wilayah perbatasan. Transportasi laut yang menjadi nadi pergerakan masyarakat Nunukan sekaligus menyimpan risiko besar, namun belum sepenuhnya diiringi jaminan keselamatan maupun tanggung jawab operator kapal.
Kasus ini menambah daftar panjang problematika keselamatan transportasi laut di daerah perbatasan. Minimnya pengawasan, lemahnya manajemen keselamatan, serta lambannya realisasi tanggung jawab dari pemilik kapal memperlihatkan bahwa keluarga korban sering kali menjadi pihak paling dirugikan.
Meski aparat berwenang beralasan prosedur hukum masih berjalan, keluarga korban berharap ada langkah cepat yang berpihak pada keadilan. Mereka menegaskan bahwa hak korban dan janji santunan harus dipenuhi, apapun alasan yang dikemukakan pihak kapal.
Bagi keluarga, menunggu tiga bulan tanpa kepastian bukan hanya soal waktu, melainkan soal luka yang terus terbuka. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan