WASHINGTON DC — Gelombang demonstrasi besar bertajuk “No Kings” mengguncang Amerika Serikat di tengah meningkatnya ketegangan politik dan ketidakpuasan terhadap pemerintahan Presiden Donald Trump. Namun alih-alih meredakan suasana, Trump justru menambah bara dengan unggahan video bergaya “King Trump”, yang memperlihatkan dirinya memakai mahkota dan menerbangkan jet tempur sebuah simbolisme yang dianggap memperolok makna demokrasi yang kini digugat jutaan warganya sendiri.
Aksi “No Kings” yang diikuti jutaan orang dari New York hingga Los Angeles pada Sabtu (18/10/2025) menjadi puncak kemarahan terhadap kepemimpinan Trump yang dinilai semakin otoriter. Para pengunjuk rasa menyerukan “melindungi demokrasi” dan menuntut pembubaran Badan Imigrasi dan Bea Cukai (ICE) yang dianggap sebagai alat represi kebijakan anti-imigran Trump.
Namun, dari ruang digital pribadinya di platform Truth Social, Trump seolah menjawab sindiran rakyat dengan memperkuat citra dirinya sebagai penguasa tunggal. Video yang diunggahnya meskipun bukan buatannya sendiri menampilkan sosok “King Trump” melemparkan kotoran dari jet tempur ke arah massa protes.
Tindakan itu memicu reaksi keras publik dan analis politik. Banyak pihak menilai unggahan tersebut bukan sekadar lelucon digital, melainkan simbol penolakan terhadap suara rakyat. “Beginilah demokrasi!” teriak ribuan orang di depan Gedung Capitol, yang kini justru mencerminkan kontras antara semangat rakyat dan sikap presiden yang semakin jauh dari prinsip demokrasi.
Menurut penyelenggara, tujuh juta orang ikut serta dalam demonstrasi di seluruh 50 negara bagian, dengan spanduk dan bendera yang menuntut agar “Konstitusi tidak dijadikan lelucon”. Beberapa bendera bertuliskan slogan satir seperti “Lawan Ketidaktahuan, bukan Migran” dan bahkan bendera One Piece dikibarkan, menandakan protes global terhadap simbol kekuasaan absolut.
Di tengah massa, Colleen Hoffman (69) dari New York mengatakan dengan getir, “Saya tidak pernah menyangka akan hidup untuk menyaksikan kematian negara saya sebagai negara demokrasi.” Sentimen itu senada dengan kekhawatiran Massimo Mascoli (68) dari New Jersey yang menilai Amerika sedang “mengulangi sejarah kelam fasisme.”
Sementara itu, Anthony Lee, pegawai federal yang terkena dampak penutupan pemerintahan, menyebut bahwa rakyat kini tidak lagi bisa bergantung pada institusi negara. “Kita tidak bisa mengandalkan Mahkamah Agung, pemerintah, bahkan Kongres. Semua lembaga tampak melawan rakyat,” ujarnya getir.
Respons dari kalangan politik pun terbelah. Ketua DPR Mike Johnson mencemooh aksi tersebut sebagai “demo benci Amerika”, sementara Senator Chuck Schumer menegaskan, “Kita tidak punya diktator di Amerika, dan kita tidak akan membiarkan Trump mengikis demokrasi kita.”
Namun di lapangan, ironi tetap terjadi. Meski aksi berjalan damai, polisi Los Angeles menembakkan gas air mata dan peluru karet untuk membubarkan massa yang dianggap melanggar ketertiban malam. Situasi itu memperkuat kesan bahwa ruang kebebasan berekspresi di Amerika kini semakin sempit.
Trump mungkin bermaksud memperlihatkan keteguhan diri di tengah tekanan, tetapi video AI-nya justru menjadi lambang paradoks: seorang presiden yang menolak disebut “raja”, namun memerankan dirinya sendiri sebagai raja. Dalam konteks demokrasi modern, langkah itu bukan sekadar kontroversial melainkan tamparan terhadap idealisme yang selama ini dibanggakan Amerika. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan