Ular Serbu Permukiman Palangka Raya, 27 Kasus Sebulan

PALANGKA RAYA — Ancaman satwa liar kian nyata di kawasan permukiman Kota Palangka Raya. Sepanjang November 2025, Dinas Kebakaran dan Penyelamatan (DKPP) setempat mencatat 27 laporan kemunculan ular di lingkungan warga, sebuah angka yang mencerminkan makin rapuhnya keseimbangan ekosistem di ibu kota Kalimantan Tengah.

Data DKPP menunjukkan, dari puluhan laporan tersebut, ular piton mendominasi dengan 18 ekor, disusul ular lidi 3 ekor, ular tedung 3 ekor, dan ular kobra 3 ekor. Fenomena ini tidak hanya memicu keresahan warga, tetapi juga menjadi sinyal keras dampak kerusakan lingkungan dan ekspansi permukiman.

Jafung Analis Kebakaran DKPP Kota Palangka Raya, Sucipto, menjelaskan bahwa meningkatnya laporan kemunculan ular berkaitan erat dengan perubahan bentang alam yang menekan ruang hidup satwa liar.

“Lahan-lahan terbuka yang dulunya menjadi habitat ular dan hewan lain sekarang sudah berubah menjadi kawasan permukiman. Ruang hidup mereka terdesak,” ujar Sucipto, Sabtu (13/12/2025).

Menurutnya, alih fungsi lahan secara masif membuat habitat alami menyusut drastis. Area yang sebelumnya menjadi tempat hidup satwa kini berubah menjadi ribuan rumah untuk memenuhi kebutuhan manusia.

“Kalau dulu mereka menjauh dari manusia, sekarang justru datang karena sumber makanan lebih banyak di sekitar rumah warga,” kata Sucipto.

Ia memaparkan, sisa makanan rumah tangga yang dibuang sembarangan mengundang tikus. Hewan pengerat tersebut kemudian menjadi mangsa alami ular, sehingga keberadaan ular di sekitar rumah warga semakin sering ditemukan.

Tak hanya itu, sisa makanan juga menarik kucing liar dan hewan peliharaan seperti ayam serta bebek, yang pada akhirnya menjadi sasaran predator lebih besar, termasuk ular piton dan ular kobra.

“Dengan berubahnya bentang alam, rantai ekosistem yang dulu panjang sekarang menjadi pendek dan semakin dekat dengan manusia. Kerusakan lingkungan yang disebabkan manusia kini menimbulkan konsekuensinya sendiri,” tegasnya.

Selain faktor lingkungan, kondisi iklim dan musim hujan turut memperparah situasi. Pada musim penghujan, sumber makanan satwa di ruang terbuka semakin berkurang.

“Pada musim hujan, sumber makanan hewan-hewan melata di ruang terbuka sudah tidak ada lagi. Mereka berpindah dan masuk ke perumahan karena sumber makanannya justru banyak di sana,” jelas Sucipto.

Ia menambahkan, pergeseran habitat satwa terjadi secara masif akibat rusaknya ekosistem alami.

“Ini bukan hanya soal cuaca, tapi juga kerusakan lingkungan yang memaksa hewan mencari tempat hidup baru,” tambahnya.

Mengantisipasi risiko tersebut, DKPP mengimbau masyarakat meningkatkan pengamanan rumah agar tidak mudah dimasuki ular.

“Celah atau lubang di bawah pintu harus ditutup. Ventilasi udara, terutama keramik angin, perlu diberi penutup. Rumah yang tidak menggunakan plafon sebaiknya dipasangi plafon,” ujarnya.

Selain itu, saluran air kamar mandi dan toilet disarankan menggunakan penyaring, baik di bagian dalam maupun luar, termasuk penutup pipa dan saluran pembuangan di area dapur.

“Lingkungan juga harus selalu dijaga kebersihannya. Jangan berpikir itu tanah tetangga lalu dibiarkan. Kelengahan di satu titik bisa berdampak ke rumah yang dihuni manusia,” tegasnya.

Sucipto menekankan, pesatnya pembangunan perumahan di sekitar Kota Palangka Raya memperbesar potensi konflik manusia dan satwa liar.

“Kebutuhan lahan perumahan sekarang jauh lebih besar dibanding 10 tahun lalu. Pembangunan melebar ke wilayah-wilayah yang sejatinya merupakan jalur pergeseran satwa,” katanya.

Ia menyebut kawasan Km 7 dan Km 10 Jalan Tjilik Riwut, lingkar luar Jalan Mahir Mahar, hingga arah Kalampangan sebagai wilayah yang dulunya merupakan habitat alami, namun kini telah berubah menjadi permukiman padat.

“Hewan didorong oleh perumahan, lalu lari ke hutan besar. Tapi hutan besar itu pun kembali didorong oleh pembukaan lahan. Ini ironi yang sulit dihindari,” ujarnya.

Terkait penanganan, DKPP memastikan seluruh ular yang dievakuasi tidak dimusnahkan, melainkan dilepasliarkan kembali ke habitat alaminya.

“Kami lepaskan kembali ke hutan sekitar 50 kilometer dari kota. Tidak mungkin dilepas di dalam kota karena bisa berkembang biak dan menambah masalah,” jelasnya.

Sebelum dilepasliarkan, ular-ular tersebut ditampung sementara dan sebagian diserahkan ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Tengah.

“Pelepasliaran dilakukan di kawasan hutan besar yang jauh dari permukiman,” pungkasnya. []

Admin03

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com