Verifikasi Ketat, Hutan Adat Tak Bisa Diakui Instan

LANDAK- Pemerintah Kabupaten Landak, Kalimantan Barat, terus melakukan proses pendataan serta verifikasi atas klaim masyarakat terkait hutan adat. Langkah ini merupakan bagian dari upaya menjaga keseimbangan antara pengakuan hak masyarakat adat dengan jaminan kepastian investasi di sektor kehutanan dan perkebunan.

Bupati Landak, Karolin Margret Natasa, menegaskan bahwa pendataan hutan adat tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Proses ini, menurutnya, harus dilandasi dengan bukti sejarah, keterangan dari saksi, serta pengakuan komunitas adat yang utuh. “Hutan adat tidak bisa tiba-tiba diakui begitu saja. Harus ada latar belakang historis, pengakuan masyarakat sekitar, serta dilakukan verifikasi langsung di lapangan. Kami sangat berhati-hati agar tidak muncul klaim sepihak yang justru bisa menghambat masuknya investasi,” ujarnya.

Karolin menjelaskan bahwa di sejumlah wilayah, terdapat perusahaan perkebunan yang telah memberikan ruang bagi masyarakat adat untuk mengelola sebagian lahan sebagai kas desa. Namun, ia mengakui bahwa kebijakan ini belum diterapkan secara merata di seluruh wilayah Kabupaten Landak, karena tergantung pada kesiapan masing-masing desa.

Selain itu, Karolin menyoroti masih adanya perusahaan perkebunan yang belum mengantongi izin Hak Guna Usaha (HGU), meskipun telah memiliki izin usaha perkebunan. Ia menyampaikan bahwa Pemerintah Kabupaten Landak telah meminta perusahaan-perusahaan tersebut segera menyelesaikan pengurusan HGU, sebab hal ini berkaitan langsung dengan penerimaan daerah dari sektor Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

“Ada pula perusahaan yang sudah mengantongi HGU tetapi tidak menjalankan operasionalnya karena berbagai faktor, mulai dari persoalan manajerial hingga kendala pembiayaan. Situasi ini perlu dievaluasi karena merugikan petani plasma maupun masyarakat sekitar,” ungkapnya.

Karolin berharap Komisi II DPR RI dapat memberikan dukungan dalam hal pengawasan serta penertiban terhadap perusahaan yang tidak aktif mengelola lahan walaupun telah menerima konsesi. Terkait proses perizinan, ia menyebutkan bahwa saat ini sebagian besar kewenangan telah beralih ke pemerintah pusat. Namun demikian, menurutnya, masalah utama bukan terletak pada panjangnya jalur birokrasi, melainkan pada kelancaran proses administrasi.

“Selama administrasi berjalan lancar, kami tidak mempermasalahkan adanya regulasi bertingkat. Namun yang sering menjadi kendala adalah tersendatnya komunikasi dan koordinasi, khususnya dengan lembaga pusat,” tuturnya.

Ia mengungkapkan bahwa pihaknya merasa terbantu dengan pemanfaatan teknologi digital, seperti aplikasi BUMi dan Satu Data, yang memudahkan proses verifikasi serta pemetaan wilayah. Kendati demikian, Karolin menekankan pentingnya dukungan dari legislatif agar persoalan agraria dan kehutanan dapat ditangani lebih efektif dan menyeluruh.

Pemerintah Kabupaten Landak juga memberi perhatian terhadap potensi konflik antara masyarakat adat dan Satuan Tugas Penanganan Perkebunan dalam Kawasan Hutan. Hal ini mengingat masih banyak masyarakat adat yang telah menanam di wilayah yang secara hukum termasuk dalam kawasan hutan negara. “Meskipun aktivitasnya berskala kecil dan tidak dilakukan oleh korporasi, praktik ini tetap dapat menimbulkan permasalahan apabila tidak dikelola dengan kebijakan yang bijaksana. Kita butuh pendekatan yang fleksibel, namun tetap berada dalam bingkai hukum,” ujar Karolin.

Ia menegaskan bahwa Pemkab Landak mendukung sepenuhnya percepatan proses pengakuan resmi terhadap wilayah adat, guna memastikan masyarakat adat memperoleh kepastian hukum atas tanah yang telah mereka kelola secara turun-temurun.[]

Redaksi12

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com