PALANGKA RAYA – Kasus perusakan Hutan Adat Miri Manasa di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, kembali menyedot perhatian. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng bersama lembaga adat menyoroti aktivitas pembabatan hutan dengan alat berat yang disinyalir terkait praktik tambang ilegal.
Direktur Eksekutif Walhi Kalteng, Bayu Herinata, menyatakan bahwa perusakan hutan adat bukan hanya persoalan lingkungan, melainkan juga ancaman nyata bagi kehidupan masyarakat adat. “Pembabatan hutan adat dengan cara ilegal jelas melanggar hukum. Ini tidak hanya merampas ruang hidup masyarakat adat, tetapi juga merusak tatanan ekologis yang mereka jaga turun-temurun,” tegasnya, Kamis (11/09/2025).
Menurut Bayu, hutan adat tidak sekadar kawasan berhutan, melainkan ruang hidup yang sarat nilai ekologis, sosial, dan budaya. Hilangnya tutupan hutan akibat penambangan liar berpotensi menimbulkan dampak berlapis, mulai dari lenyapnya habitat satwa, menurunnya keanekaragaman hayati, hingga kerusakan fungsi ekologis hutan.
“Tambang ilegal berpotensi merusak struktur tanah, memicu erosi, longsor, hingga mencemari sungai dan sumber air masyarakat adat. Pada skala lebih luas, ini juga memperparah krisis ekologis yang kita hadapi, termasuk meningkatnya risiko banjir di Daerah Aliran Sungai (DAS) Kahayan,” jelas Bayu.
Selain dampak lingkungan, masyarakat adat disebut menghadapi tekanan serius berupa hilangnya ruang kelola adat. Situasi ini membuat kedaulatan pangan, budaya, dan hak masyarakat atas tanah kian terancam. Walhi menilai praktik ini sebagai bentuk perampasan yang menghancurkan sistem pengelolaan hutan berkelanjutan yang diwariskan turun-temurun.
Bayu juga menyinggung lemahnya peran pemerintah daerah maupun pusat yang membuka celah terjadinya pelanggaran hukum. “Pemerintah daerah seharusnya proaktif melindungi hutan adat yang sudah ditetapkan secara resmi. Monitoring berkala bersama komunitas adat penting dilakukan agar ruang hidup mereka tidak dirampas,” katanya.
Walhi mendorong Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta aparat penegak hukum agar segera bertindak tegas. Menurut Bayu, langkah mendesak adalah menutup aktivitas tambang ilegal, menindak para pelaku, hingga memastikan adanya pemulihan lingkungan. “Jangan sampai aktor besar yang menjadi penyokong aktivitas ilegal dibiarkan bebas. Penegakan hukum harus menyentuh semua pihak yang terlibat, bukan hanya pekerja di lapangan,” tambahnya.
Ia menilai kasus Hutan Adat Miri Manasa sebagai cermin lemahnya perlindungan wilayah adat di Kalimantan Tengah. Karena itu, pemerintah didesak benar-benar serius melibatkan masyarakat adat dalam mengelola wilayahnya. “Jika hutan adat rusak, yang hilang bukan hanya pohon, tetapi juga identitas, budaya, dan sumber penghidupan masyarakat adat. Pemerintah harus bertindak sebelum kerusakan semakin meluas,” ujarnya.
Dukungan serupa datang dari Damang Miri Manasa, Tonadi D. Encun. Ia mengungkapkan, pihaknya menerima laporan langsung dari pengurus hutan adat terkait adanya penambangan menggunakan alat berat di kawasan mereka. “Saya sebagai Damang Miri Manasa, menanggapi baik laporan tersebut. Karena adalah salah satu tugas dan fungsi kami sebagai lembaga adat,” katanya, Rabu (10/9/2025).
Tonadi berharap pemerintah daerah maupun provinsi tidak tinggal diam. “Harapan kita kepada pemerintah supaya bisa merespon laporan tersebut,” ucapnya. Ia menegaskan bahwa wilayah hutan adat Miri Manasa memiliki luas 14.224,19 hektare. Pada 19 Maret 2025 lalu, masyarakat bersama lembaga adat telah membuat kesepakatan bersama yang melarang aktivitas dengan alat mekanis.
Kesepakatan itu, lanjutnya, menegaskan bahwa wilayah adat hanya boleh dikelola dengan kearifan lokal. Namun, fakta di lapangan menunjukkan pelanggaran aturan. “Yang dikerjakan itu menggunakan alat mekanis dan memang sudah memasuki hutan adat yakni di Himba Antang Ambun Liang Bungai dan daerah ini kita pastikan terluas di Indonesia,” tandasnya.
Bagi masyarakat adat, hutan bukan sekadar sumber ekonomi, tetapi juga simbol identitas dan keberlanjutan hidup. Karena itu, mereka menilai kehadiran alat berat sebagai ancaman langsung terhadap kesepakatan bersama, bahkan dianggap sebagai pelecehan terhadap aturan adat dan hukum negara.
Desakan dari Walhi dan lembaga adat ini mempertegas pentingnya langkah konkret pemerintah dalam melindungi Hutan Adat Miri Manasa. Kasus ini diharapkan menjadi momentum untuk memperkuat kolaborasi antara masyarakat adat, organisasi lingkungan, dan pemerintah dalam menjaga hutan Kalimantan Tengah dari ancaman tambang ilegal dan eksploitasi berlebihan. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan