KOTAWARINGIN TIMUR – Ratusan warga dari berbagai desa dan koperasi di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Peduli Plasma mendatangi Kantor Bupati Kotim, Rabu (11/09/2025). Mereka menggelar aksi unjuk rasa untuk mendesak realisasi kebun plasma dari perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di wilayah tersebut.
Plasma 20 persen merupakan kewajiban perusahaan yang diatur dalam peraturan pemerintah, sebagai bentuk kemitraan dengan masyarakat sekitar. Namun, warga menilai kewajiban itu hingga kini belum dijalankan secara maksimal.
Dalam aksinya, massa membentangkan spanduk berisi tuntutan sekaligus menyebut nama perusahaan yang dianggap belum memenuhi kewajiban. Salah satunya adalah PT Bangkitgiat Usaha Mandiri (BUM) dengan luas perkebunan tercatat mencapai 29.994 hektare.
“Kami hadir untuk menuntut hak masyarakat. Pemerintah daerah harus berani menyampaikan di depan massa dan menekan seluruh perusahaan di Kotim agar melaksanakan plasma 20 persen,” tegas Audy Valent, koordinator aksi.
Masyarakat menilai bahwa keberadaan perusahaan perkebunan sawit di Kotim sudah memberikan keuntungan besar bagi korporasi. Namun, di sisi lain, warga sekitar justru belum memperoleh hak kebun plasma yang dijanjikan. Situasi ini menimbulkan rasa ketidakadilan yang akhirnya memicu aksi protes terbuka.
Salah seorang warga bahkan mengingatkan agar pemerintah bertindak cepat. “Jangan sampai masyarakat yang bertindak sendiri kalau tuntutan ini tidak direspons,” ujarnya dengan nada tegas.
Aksi unjuk rasa itu akhirnya ditanggapi langsung oleh Pemerintah Kabupaten Kotim. Wakil Bupati Kotim, Irawati, bersama Ketua DPRD Kotim, Rimbun, menemui massa di lokasi aksi untuk memberikan penjelasan.
Irawati menegaskan bahwa pemerintah daerah tidak tinggal diam atas tuntutan masyarakat. Menurutnya, Bupati Kotim telah menerbitkan surat resmi yang ditujukan kepada seluruh perusahaan perkebunan di Kotim. Surat tersebut berisi instruksi agar setiap perusahaan segera merealisasikan kewajiban plasma sebesar 20 persen dari total luasan kebun yang dikelola.
“Pak Bupati sudah menerbitkan surat resmi perihal kewajiban fasilitasi plasma 20 persen dari total luasan kebun yang diusahakan. Surat itu ditujukan kepada seluruh direktur perusahaan perkebunan di Kotim,” jelasnya di hadapan warga.
Lebih lanjut, ia menyebutkan perusahaan diberi tenggat waktu satu bulan sejak surat diterbitkan untuk mulai merealisasikan pembangunan kebun plasma. Tidak hanya itu, mereka juga diwajibkan melaporkan progres pelaksanaan paling lambat satu bulan ke depan.
“Bagi perusahaan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana diatur dalam surat bupati, akan dikenakan sanksi sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku,” tegas Irawati.
Permasalahan plasma sawit bukan hal baru di Kotim. Isu ini sudah bertahun-tahun menjadi sumber konflik antara masyarakat dan perusahaan. Ketentuan plasma 20 persen sejatinya dibuat untuk menjamin pemerataan manfaat dari perkebunan besar kepada masyarakat lokal, terutama mereka yang lahannya menjadi bagian dari konsesi perusahaan.
Namun, realisasinya kerap tersendat karena berbagai alasan, mulai dari persoalan teknis, status lahan, hingga lemahnya komitmen perusahaan. Aksi unjuk rasa kali ini menunjukkan bahwa kesabaran masyarakat mulai habis.
Pengamat kebijakan publik menilai, pemerintah daerah harus benar-benar memastikan kebijakan ini dijalankan dengan konsisten. Tanpa pengawasan ketat, janji realisasi plasma dikhawatirkan hanya akan menjadi dokumen formal tanpa implementasi nyata di lapangan.
Aliansi Masyarakat Peduli Plasma berharap langkah pemerintah tidak berhenti pada penerbitan surat. Mereka menuntut adanya tindak lanjut berupa pengawasan langsung, transparansi proses, serta keterlibatan masyarakat dalam memantau realisasi plasma.
“Kami tidak ingin hanya janji. Kami ingin melihat bukti nyata di lapangan,” kata salah seorang warga.
Sementara itu, beberapa tokoh masyarakat menilai, jika perusahaan benar-benar menjalankan kewajiban plasma, maka akan tercipta dampak positif besar. Masyarakat bisa memperoleh sumber penghasilan baru, perekonomian desa bergerak, dan ketimpangan antara perusahaan dengan warga sekitar bisa diminimalkan.
Dengan diberikannya tenggat waktu satu bulan, publik kini menanti apakah perusahaan-perusahaan besar di Kotim benar-benar menunjukkan itikad baik. Jika tidak, potensi konflik horizontal maupun vertikal bisa kembali muncul. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan