NUNUKAN — Di tengah gencarnya pembangunan di berbagai wilayah Indonesia, warga perbatasan di Krayan Barat kembali harus berjuang dengan kenyataan pahit: akses kesehatan mereka masih sangat terbatas. Kasus seorang anak yang mengalami cedera organ dalam menjadi bukti terbaru betapa sulitnya mendapat pertolongan medis di kawasan terpencil itu.
Plt Camat Krayan Barat, Jemri, membenarkan keluhan warga terkait rumitnya proses rujukan bagi pasien gawat darurat. Dalam kasus yang baru terjadi, keluarga harus mempertaruhkan waktu berharga melewati jalan rusak sebelum akhirnya terbang ke Tarakan demi mendapat penanganan serius.
“Memang betul seperti yang disampaikan ibu pasien itu. Jalan Ringkar dari Long Midang sampai ke SP itu kurang lebih 6 kilometer. Baru sekitar 500 meter yang sudah diaspal, sisanya masih jalan tanah,” ungkap Plt Camat Krayan Barat, Jemri, Kamis (20/11/2025).
Di wilayah ini, puskesmas hanya menjadi layanan dasar tanpa kemampuan menangani kasus kritis. Tidak adanya dokter spesialis dan peralatan medis memadai membuat seluruh pasien dengan kondisi berat harus dirujuk keluar.
“Sebenarnya yang kita perlukan di sini dokter spesialis, untuk saat ini memang belum ada. Hanya ada dokter umum dengan peralatan terbatas,” jelasnya.
Kendala berikutnya muncul dari sarana transportasi. Jalur tercepat menuju Tarakan kota terdekat yang memiliki fasilitas kesehatan lengkap hanya bisa ditempuh lewat jalur udara. Namun, penerbangan reguler ke Krayan hanya ada sekali dalam seminggu, itu pun bergantung pada cuaca.
“Transportasi ini kendala utama kita. Dari Tarakan ke Krayan itu jadwalnya cuma satu kali dalam satu minggu, itu subsidi provinsi. Kalau ke Nunukan bisa tiga kali seminggu, tapi itu pun sangat tergantung cuaca,” bebernya.
Warga yang jatuh sakit di luar jadwal penerbangan praktis hanya bisa menunggu. Dalam banyak kasus, waktu tunggu itulah yang membuat kondisi pasien makin kritis. Jemri mengakui bahwa persoalan ini telah terjadi bertahun-tahun.
“Memang di Krayan ini, pasien menunggu dalam kondisi sakit itu memang sudah biasa terjadi. Kami juga tidak bisa apa-apa karena kendala alam dan armada,” akunya.
Ketika situasi benar-benar mendesak, warga hanya bisa berharap pada pesawat perintis misionaris (MAF). Namun, pesawat ini pun tak selalu tersedia karena juga melayani banyak wilayah lain.
“Jalan satu-satunya menghubungi MAF. Tapi itu pun kalau pesawatnya ready atau tidak sedang melayani di tempat lain. Kadang bisa datang hari itu juga, kadang harus menunggu,” jelasnya.
Jemri menuturkan bahwa masalah ini telah berulang kali disampaikan dalam rapat koordinasi dengan berbagai tingkat pemerintahan. Ia berharap kebijakan yang lebih berpihak kepada warga perbatasan segera direalisasikan, baik melalui penambahan frekuensi penerbangan maupun perbaikan akses darat. “(Harapannya) flight-nya bisa ditambahkan. Ini menyangkut nyawa masyarakat,” pungkasnya. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan