KUTAI KARTANEGARA – Masyarakat dua desa di Kecamatan Marangkayu, Kutai Kartanegara, kembali menghadapi ketidakpastian terkait pembayaran ganti rugi lahan yang digunakan untuk pembangunan Bendungan Marangkayu. Meski sudah menunggu lebih dari belasan tahun, hak warga belum kunjung dibayarkan, sementara sebagian lahan justru diklaim sebagai Hak Guna Usaha (HGU) PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XIII.
Bendungan yang seharusnya menjadi sarana pengairan dan penopang kehidupan masyarakat, kini justru menimbulkan masalah sosial dan ekonomi. Lahan pertanian dan berladang yang dulunya menjadi sumber penghidupan warga kini berada di bawah genangan air bendungan, sementara ganti rugi yang dijanjikan pemerintah tidak kunjung direalisasikan. Akibatnya, masyarakat tidak hanya kehilangan mata pencaharian tetapi juga menghadapi risiko sosial, seperti banjir yang rutin merendam lebih dari seratus rumah di Kilometer (KM) 10 setiap hujan deras.
Perwakilan warga, Nina Iskandar, menyatakan masyarakat telah menyiapkan langkah konkret jika pemerintah tidak segera menuntaskan pembayaran. “Rencana kami pekan depan, karena kita prepare alat dulu, pakai alatnya kan tidak cepat dapatnya,” ujarnya, Kamis (21/8/2025). Masyarakat berencana membuka panel bendungan agar air bisa dikurangi, sehingga lahan kembali bisa dimanfaatkan untuk berladang.
Persoalan bermula pada 2007 saat Bendungan Marangkayu ditetapkan sebagai proyek strategis nasional. Pemerintah melakukan verifikasi lahan dan menyepakati 614 hektare lahan warga untuk pembangunan. Awalnya, konflik hanya terkait harga pembebasan lahan. Pembayaran dilakukan secara bertahap antara 2007 hingga 2011, namun sejak 2011, pembayaran macet dan hanya sebagian kecil warga yang menerima dana, sementara sisanya menunggu tanpa kepastian.
Kondisi makin rumit ketika pada 2024 muncul klaim HGU oleh PTPN XIII. Padahal, lahan tersebut sejak awal merupakan lahan pertanian masyarakat. “PU Provinsi bilang katanya duitnya sudah ada. Tiba-tiba muncul HGU dari PTPN XIII. Padahal angka, kepastian, appraisal sudah turun, sudah disepakati warga, sudah tanda tangan, tapi gagal cair,” jelas Nina. Warga bahkan dipanggil ke Tenggarong untuk sosialisasi pencairan yang berujung pada pembuatan berita acara konsinyasi di pengadilan, sementara pihak pengadilan dan panitra mendatangi rumah warga untuk meminta tanda tangan persetujuan.
Kini, total lahan yang harus dibebaskan mencapai sekitar 613 hektare dengan nilai sekitar Rp135 miliar. Hingga saat ini, baru 12 persen yang dibayarkan, belum termasuk 32 warga yang baru menerima pembayaran belakangan. Masyarakat menuntut pemerintah segera menuntaskan pembayaran, menegaskan ganti rugi bukan sekadar janji, tetapi hak yang harus dipenuhi.
Admin05
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan