Warga Sibuk Merekam, Perempuan Nyaris Lompat

BANJARMASIN – Malam di kawasan Jembatan Banua Anyar, Kamis (16/10/2025), berubah menjadi tontonan massal. Ratusan warga berkerumun di tepi jalan, mengabadikan dengan ponsel saat seorang perempuan muda diduga mencoba mengakhiri hidupnya. Bukannya empati, yang muncul justru sensasi dan sorak penasaran.

Keramaian dimulai sekitar pukul 21.00 Wita di depan gedung Ayu by Ayu Lestari, tak jauh dari Simpang Empat Lampu Merah Sultan Adam. Seorang perempuan tampak berdiri di tepi jembatan, menangis dan berteriak, sebelum dicegah oleh sejumlah relawan. “Itu Bang dia mau melompat dari jembatan Banua Anyar. Ngamuk tadi pas diselamatkan,” kata salah seorang relawan di lokasi.

Namun, alih-alih ditenangkan dengan privasi dan pendekatan manusiawi, perempuan itu justru dikerumuni warga yang sebagian besar sibuk merekam. Saat polisi datang, situasi semakin ricuh. Perempuan itu memberontak, berteriak, dan menolak dibawa ke mobil patroli. “Seperti pengaruh minuman atau depresikah,” terdengar celetukan dari tengah kerumunan, yang seolah menambah beban psikologis korban.

Evakuasi berlangsung sulit. Petugas berulang kali mencoba membujuknya, tapi perempuan tersebut terus berontak. Baru sekitar pukul 21.30 Wita, setelah sebuah mobil Daihatsu yang diduga milik keluarganya tiba, ia akhirnya berhasil diamankan. Namun, adegan itu tetap jadi tontonan ramai di pinggir jalan. “Sayang pang kalau tecebur bungas nang kaya itu,” celetuk seorang warga, menertawakan momen tragis yang nyaris berujung maut.

Insiden ini sekali lagi memperlihatkan minimnya empati publik terhadap korban gangguan mental. Situasi darurat justru dijadikan bahan hiburan. Tak ada upaya aparat untuk menertibkan kerumunan atau menutup akses publik demi melindungi privasi perempuan tersebut.

Fenomena seperti ini bukan kali pertama. Di banyak tempat, kasus percobaan bunuh diri seringkali direkam, disebar, dan dijadikan bahan komentar di media sosial. Padahal, tindakan itu berpotensi memperparah kondisi psikologis korban. Pemerintah daerah dan kepolisian semestinya memiliki protokol penanganan krisis mental di ruang publik, bukan sekadar mengevakuasi tanpa pendampingan.

Di sisi lain, absennya layanan krisis kejiwaan di ruang publik di Kalimantan Selatan semakin memperjelas bahwa kesehatan mental masih belum jadi prioritas. Ketika tragedi dijadikan tontonan, rasa kemanusiaan ikut tergerus. []

Admin03

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com