MALUKU UTARA – Sebanyak 26 warga adat di Kecamatan Maba, Halmahera Timur, diamankan kepolisian usai menggelar aksi penolakan terhadap aktivitas pertambangan PT Position, Jumat (17/05/2025). Aksi yang berlangsung sejak pagi di jalur operasional perusahaan itu memprotes kerusakan lingkungan dan perampasan ruang hidup masyarakat adat.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Maluku Utara, Kombes Pol Edy Wahyu Susilo, membenarkan pengamanan warga. “Mereka kami bawa ke Ternate untuk dimintai keterangan. Ini bagian dari proses hukum, bukan kriminalisasi,” tegas Edy dalam keterangan resmi Senin (19/05/2025). Ia menambahkan, aksi dinilai mengganggu stabilitas keamanan dan operasional investasi. Namun, ia menegaskan pemeriksaan akan mengedepankan keadilan. “Jika tak ditemukan unsur pidana, mereka akan dipulangkan sebagai saksi,” ujarnya.
Aktivis lingkungan dan organisasi masyarakat sipil mengecam tindakan aparat sebagai upaya pembungkaman hak bersuara. “Aksi damai warga adalah hak konstitusional yang dijamin UU. Penangkapan ini justru memperlihatkan ketimpangan perlindungan negara terhadap masyarakat adat,” kritik pernyataan koalisi LSM yang diterima media.
PT Position, perusahaan tambang yang dipertanyakan, tercatat terafiliasi dengan dua entitas besar: PT Tanito Harum Nickel (THN) milik konglomerat Kiki Barki—orang terkaya ke-33 versi Forbes 2023—serta Nickel International Kapital Pte. Ltd (NICAP) asal Singapura. Data Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Maluku Utara menyebut THN menguasai 51% saham PT Position, sementara NICAP memegang 49%.
Aksi ini merupakan puncak dari ketegangan panjang antara warga dan perusahaan. Masyarakat adat menuding aktivitas tambang merusak ekosistem, termasuk sumber air dan lahan pertanian. Seorang perwakilan warga yang enggan disebutkan namanya menyatakan, “Mereka mengambil tanah leluhur kami tanpa persetujuan. Kami hanya mempertahankan hak hidup.”
Polda Maluku Utara menyatakan telah mengantisipasi eskalasi dengan mengerahkan 150 personel gabungan. Pembubaran paksa dilakukan sekitar pukul 12.00 WIT setelah negosiasi dengan perwakilan warga dinilai mentok. “Kami prioritaskan dialog, tetapi aksi sudah mengganggu ketertiban,” tambah Edy.
Di tengah polemik, PT Position belum memberikan tanggapan resmi. Sumber internal perusahaan yang enggan diidentifikasi mengklaim, operasional tambang telah mematuhi izin lingkungan dan berkontribusi pada perekonomian daerah.
Aktivis memperkirakan aksi serupa akan terus terjadi. “Selama hak masyarakat adat diabaikan dan izin tambang dikeluarkan tanpa persetujuan mereka, konflik tak akan reda,” tegas Koordinator JATAM Maluku Utara, Arifin Payapo. Data JATAM mencatat, 12 kasus serupa terkait pertambangan telah terjadi di Maluku Utara dalam tiga tahun terakhir.
Pemerintah daerah diminta menjadi penengah objektif. “Perlu evaluasi izin tambang dengan melibatkan partisipasi publik, terutama pemangku adat,” pungkas Arifin. []
Redaksi11