KUTAI KARTANEGARA – Upaya mediasi antara warga pemilik lahan di Blok Betikan, Dusun Mukti Jaya, Desa Jonggon Jaya, dengan PT Niagamas Gemilang kembali menemui jalan buntu. Pertemuan yang digelar di Ruang Rapat Sawit, Dinas Perkebunan (Disbun) Kutai Kartanegara (Kukar), Tenggarong, Rabu (13/08/2025), berlangsung tegang karena tidak adanya titik temu terkait skema bagi hasil kebun sawit yang telah beroperasi lebih dari tujuh tahun tanpa kemitraan resmi.
Warga yang hadir menegaskan bahwa lahan yang mereka klaim telah ditanami kelapa sawit oleh perusahaan sejak lama, namun hingga kini tidak ada surat keputusan (SK) kemitraan maupun perjanjian tertulis yang mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak. Situasi ini membuat masyarakat tidak pernah menerima bagian hasil yang seharusnya menjadi hak mereka.
Perusahaan sendiri mengakui bahwa belum ada dokumen kemitraan. Namun, PT Niagamas Gemilang menyatakan telah menyisihkan 10 persen hasil kebun bagi masyarakat. Pembagian tersebut tertunda karena adanya ketidakjelasan status kepemilikan lahan, terutama setelah muncul sejumlah sertifikat baru di area yang sama.
Kepala Bidang Usaha dan Penyuluhan Disbun Kukar, Samsiar, menjelaskan bahwa kondisi lahan Blok Betikan memang semakin rumit dari waktu ke waktu akibat tumpang tindih klaim. “Sebagian masyarakat mengklaim tanah itu sejak dulu kolektif, tapi sekarang muncul sertifikat atas nama orang lain. Perusahaan tidak berani membagikan hasil karena bisa salah sasaran,” jelas Samsiar.
Ketegangan meningkat ketika warga meminta porsi 60 persen dari hasil kebun, sementara perusahaan bersikeras mempertahankan pembagian 10 persen. Tidak satu pun pihak menunjukkan niat untuk menurunkan tuntutan mereka, sehingga mediasi berjalan stagnan.
Melihat kebuntuan tersebut, Disbun Kukar menawarkan solusi jalan tengah untuk memecahkan persoalan. “Kalau masing-masing bersikukuh, tidak akan ada jalan keluar. Kami tawarkan 30 persen untuk masyarakat dari hasil bersih setelah biaya operasional. Ini titik tengah yang paling masuk akal,” tegasnya.
Ia menekankan bahwa kompromi menjadi syarat mutlak jika kedua belah pihak ingin mencari penyelesaian secara musyawarah. Jika tidak, mediasi dianggap tidak lagi efektif. “Kalau tidak ada yang mau turun, saya hentikan mediasi. Kami tidak bisa fasilitasi berulang-ulang kalau tidak ada niat bermusyawarah. Silakan tempuh jalur hukum kalau tidak sepakat,” tuturnya.
Meski usulan tersebut disampaikan sebagai opsi paling realistis, PT Niagamas Gemilang meminta waktu dua minggu untuk mendiskusikan tawaran itu secara internal. Di sisi lain, sebagian warga masih menginginkan angka 40 persen dan belum menunjukkan sikap untuk menurunkan tuntutan mereka.
Selain itu, Samsiar menyoroti pentingnya konsistensi dalam penunjukan perwakilan warga. Ia menilai bahwa dinamika mediasi kerap terhambat karena setiap pertemuan menghadirkan juru bicara berbeda, sehingga menyulitkan proses perumusan keputusan. “Perwakilan harus jelas. Tidak bisa berganti-ganti terus. Kalau begitu, pembahasan tidak akan pernah tuntas,” imbuhnya.
Ia juga menegaskan bahwa kerja sama yang dijalankan ini bukan pola plasma, melainkan kemitraan mandiri. Dalam mekanisme tersebut, lahan tetap menjadi milik warga, sementara perusahaan bertanggung jawab menanam dan mengelola kebun sawit. “Ini bukan pola plasma, jadi mekanismenya berbeda. Karena itu perlu kesepakatan yang jelas agar tidak saling merugikan,” tambahnya.
Disbun Kukar menyatakan akan menunggu jawaban resmi perusahaan sebelum menjadwalkan pertemuan lanjutan. Pemerintah menilai bahwa solusi hanya akan dicapai apabila kedua pihak bersedia membuka ruang negosiasi dan berpegang pada data objektif, bukan sekadar tuntutan angka. Persoalan ini telah berlangsung bertahun-tahun, dan penyelesaiannya dinilai sangat bergantung pada kemauan bersama untuk mencari titik temu. [] ADVERTORIAL
Penulis: Jemi Irlanda Haikal | Penyunting: Rasidah
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan