“Ini izinnya di mana sih, jangan sampai beda beda perizinan, yang ada di kabupaten lain dengan kabupaten yang ada saat ini. Kita selaraskan dulu, makanya kita jadikan satu kesatuan berkaitan dengan hal tersebut. Sampling-nya begitu.”
PARLEMENTARIA KALTIM – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) melalui Panitia Khusus (Pansus) Investigasi Pertambangan (IP) kini tengah berupaya menyelaraskan izin pengerukan dan pemanfaatan pasir yang dieksploitasi dari aliran sungai.
Hal tersebut diungkapkan Muhammad Udin, Wakil Ketua Pansus IP saat diwawancara usai mengikuti Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Kantor DPRD Kaltim, Jalan Teuku Umar, Samarinda, Kamis (23/02/2023). RDP tersebut mengangkat agenda pembahasan terkait aktivitas PT Fajar Sakti Prima (FSP) di aliran Sungai Mahakam, di Kecamatan Muara Pahu, Kabupaten Kutai Barat.
Aktivitas FSP di Sungai Mahakam bakal dijadikan sampel dalam rangka mengkaji apakah kegiatannya masuk ranah pemerintah kabupaten/kota atau provinsi. “Ada perusahaan-perusahaan lagi yang beroperasi baik di aliran sungai Mahakam maupun yang ada di Berau, berkaitan dengan hal yang sama, jadi maksud kita, kita selaraskan dulu,” ujar wakil rakyat kelahiran Tanjung Jone, 10 Maret 1988.
Untuk menyelaraskan perizinan itu, pihak Pansus IP bukan saja berupaya menggali dokumen perizinan FSP di aliran sungai Mahakam, tetapi juga berencana melakukan inspeksi ke lokasi. Dalam operasional FSP, terdapat tujuh dermaga dan konveyor yang berada di sepanjang bibir sungai Mahakam, totalnya sekitar tiga kilometer.
Saat ini FSP baru mengantongi Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL-UKL), di dalamnya memuat kegiatan pengerukan sungai sebanyak 490 meter kubik. Dari paparan gambar yang disampaikan di dalam RDP, luas areal sungai yang dikeruk adalah 25 hektare. Sementara material hasil kerukan juga dimanfaatkan FSP untuk membuat timbunan. Rencananya mereka membutuhkan sekitar 600 ribu meter kubik material timbunan di atas lahan seluas 300 hektare.
Dari kegiatan pemanfaatan pasir sungai tersebut, FSP menyetorkan pajak daerah ke pemerintah kabupaten setempat. Padahal, dengan volume eksploitasi di atas 500 ribu meter kubik, seharusnya menjadi ranah pemerintah provinsi. “Ini izinnya di mana sih, jangan sampai beda beda perizinan, yang ada di kabupaten lain dengan kabupaten yang ada saat ini. Kita selaraskan dulu, makanya kita jadikan satu kesatuan berkaitan dengan hal tersebut. Sampling-nya begitu,” terang Udin, sapaan wakil rakyat asal daerah pemilihan Kota Bontang, Kabupaten Kutai Timur dan Berau ini. []
Penulis: Enggal Triya Amukti | Penyunting: Hadi Purnomo