PARLEMENTARIA KALTIM – Dalam rangka penguatan dan pengayaan materi Rancangan Peraturan Daerah (Raperda), Panitia Khusus (Pansus) Raperda Pengutamaan Bahasa Indonesia serta Perlindungan Bahasa dan Sastra Daerah DPRD Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan jajaran Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait.
RDP yang dilaksanakan di Gedung E DPRD Kaltim Lantai 1, Senin (17/4/2023) itu dipimpin Ketua Pansus, Veridiana Huraq Wang. Sementara OPD yang hadir diantaranya, Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Provinsi Kaltim, Dinas Perhubungan (Dishub) Kaltim, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kaltim dan juga Kantor Bahasa Provinsi Kaltim.
Veridiana Huraq Wang mengatakan, RDP dilaksanakan dalam rangka bertukar pikiran, memberikan masukan saran dan materi. Juga penguatan dan pengayaan materi terhadap Raperda Pengutamaan Bahasa Indonesia tersebut.
Ketua Komisi III DPRD Kaltim ini menyampaikan, ada beberapa hal yang menjadi poin pada rapat, yang pertama perbaikan redaksional. Pihaknya sangat senang karena terbantu oleh peneliti Sastra dari Universitas Mulawarman DR. G. Simon Devung dalam kerangka sarana perbaikan redaksional.
“Jadi di Perda itukan tidak ada kata menyebutkan revitalisasi. Nah tiba-tiba dalam satu pasal yang disebutkan tadi ada kata revitalisasi untuk bahasa daerah. Sehingga, tadi kita sinkronisasikan supaya ada konsistensi istilah kita tidak menggunakan kata revitalisasi untuk bahasa daerah,” jelasnya.
Dilanjutkan lagi yang disampaikan oleh sejarawan terkait pemilihan bahasa daerah yakni bahasa Banjar, pihaknya memang tidak memasukkannya karena bahasa tersebut ada wilayahnya tersendiri.
“Sebagaimana diketahui bahwa, di Kalimantan ini ada satu pulau yang memang menggunakan bahasa Banjar. Jadi supaya tidak tumpang tindih,” ucap politisi PDI Perjuangan ini.
Kemudian, yang berikutnya adalah penguatan untuk sertifikasi tenaga pengajar atau seorang penutur. Dikatakannya diperlukannya seorang pengajar memiliki legalitas dan sertifikasi yang dikeluarkan oleh Balai Bahasa maupun Perguruan Tinggi.
“Karena bagaimanapun legalitas dari seorang pengajar atau seorang penutur itu kalau dia mau diperlukan adalah harus ada legalitasnya dalam bentuk sertifikasi. Jadi, sertifikasi bisa dilakukan oleh Balai Bahasa maupun perguruan tinggi, tadi yang baru kita masukkan adalah perguruan tinggi,” urainya.
Ia optimis dalam waktu dekat pihaknya sudah melakukan penyelesaian pembahasan raperda. “Sudah hampir selesai, mungkin kita akan studi banding dulu ke daerah-daerah yang sudah memiliki Perda Bahasa. Yang jelas kita berharap bagaimana Perda ini ada dan bisa diimplementasikan,” tutupnya. []
Penulis: Agus P Sarjono | Penyunting: Agus P Sarjono