DHAKA — Pengadilan Bangladesh mengguncang dunia setelah menjatuhkan hukuman mati kepada mantan Perdana Menteri (PM) Sheikh Hasina, yang kini berstatus buron. Vonis itu dijatuhkan dalam sidang in-absentia di ibu kota Bangladesh yang dipadati pengunjung.
Hakim Golam Mortuza Mozumder membacakan putusan yang membuat ruang sidang hening tegang. “Hasina dinyatakan bersalah atas tiga dakwaan, termasuk penghasutan, perintah untuk membunuh, dan tidak bertindak untuk mencegah kekejaman tersebut,” katanya. “Kami telah memutuskan untuk menjatuhkannya hanya satu hukuman — yaitu, hukuman mati,” lanjutnya, dikutip AFP, Senin (17/11/2025).
Persidangan yang dimulai 1 Juni itu menghadirkan banyak saksi yang memaparkan peran Hasina dalam memerintahkan atau gagal mencegah pembantaian massal.
“Tujuannya adalah untuk mempertahankan kekuasaan secara permanen — demi dirinya sendiri dan keluarganya,” ujar jaksa Islam di persidangan.
Menurut laporan AFP, Hasina kabur ke India sejak tahun lalu dan menolak kembali menghadapi dakwaan terkait tindakan mematikan untuk menumpas aksi protes mahasiswa. PBB mencatat bahwa bentrokan antara Juli–Agustus 2024 menyebabkan sedikitnya 1.400 orang tewas.
Ketua jaksa Tajul Islam menegaskan tuntutan maksimal. “Kami menuntut hukuman tertinggi untuknya,” ujarnya pada Kamis (16/10/2025). “Untuk satu pembunuhan, satu hukuman mati adalah aturannya. Untuk 1.400 pembunuhan, dia seharusnya dihukum 1.400 kali — tetapi karena itu tidak mungkin secara manusiawi, kami menuntut setidaknya satu hukuman mati.”
Dalam dakwaan yang sama, dua pejabat senior lain juga diseret: mantan Mendagri Asaduzzaman Khan Kamal (buran) serta mantan Kepala Kepolisian Chowdhury Abdullah Al-Mamun yang telah ditahan dan mengaku bersalah. Jaksa menilai Kamal juga layak dihukum mati.
Dhaka langsung menekan New Delhi agar menyerahkan Hasina. “Kami mendesak pemerintah India untuk segera mengekstradisi kedua narapidana tersebut kepada pihak berwenang Bangladesh,” bunyi pernyataan Kementerian Luar Negeri Bangladesh.
Dhaka memperingatkan bahwa memberi perlindungan kepada Hasina merupakan tindakan tidak bersahabat dan penghinaan terhadap keadilan.
India merespons dengan nada diplomatis: “India tetap berkomitmen untuk kepentingan terbaik rakyat Bangladesh, termasuk dalam hal perdamaian, demokrasi, inklusi dan stabilitas.”
Tahun lalu, Bangladesh mencoba mengajukan red notice Interpol, namun nama Hasina tidak muncul dalam daftar pantauan. Pemimpin sementara Bangladesh Muhammad Yunus menyambut baik vonis ini. “Pemberian hukuman mati kepada Sheikh Hasina dan Asaduzzaman Khan Kamal dalam kasus kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan keputusan bersejarah,” katanya.
Ia juga menyerukan ketenangan dan mengingatkan agar tidak ada yang melanggar ketertiban umum.
PBB sebelumnya menilai Hasina berada di balik serangan sistematis terhadap pengunjuk rasa, yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun PBB menentang keras vonis mati ini. “Kami telah menyerukan agar para pelaku, termasuk individu-individu yang berada dalam posisi komando dan kepemimpinan dimintai pertanggungjawaban sesuai dengan standar-standar internasional,” kata juru bicara OHCHR, Ravina Shamdasani. “Kami juga menyerukan agar para korban mendapatkan akses terhadap pemulihan dan reparasi yang efektif,” imbuhnya.
PBB menegaskan bahwa proses in-absentia yang berujung pada hukuman mati tidak memenuhi prinsip keadilan internasional. “Hal ini sangat penting terutama ketika, seperti yang terjadi di sini, persidangan dilakukan secara in absentia dan berujung pada vonis hukuman mati,” ujarnya. “Kami menyesalkan penjatuhan hukuman mati, yang kami menentangnya dalam segala situasi,” tambahnya.
Putusan ini bukan hanya mengguncang politik Bangladesh, tetapi juga memicu perdebatan global soal standar hukum, HAM, dan proses peradilan yang adil. []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan