SAMARINDA – Kesejahteraan masyarakat Kalimantan Timur (Kaltim) ternyata belum sejalan dengan geliat pertumbuhan ekonominya yang begitu tinggi. Meski provinsi ini menyumbang hampir setengah dari total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Pulau Kalimantan, masalah ketimpangan sosial, stunting, pengangguran, hingga kesenjangan gender masih menjadi persoalan mendasar yang belum terpecahkan.
Hal ini menjadi sorotan utama dalam Rapat Paripurna ke-17 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kaltim yang digelar pada Rabu (11/06/2025). Dalam rapat yang dipimpin Wakil Ketua DPRD Kaltim, Ekti Imanuel, DPRD resmi mengesahkan Laporan Akhir Panitia Khusus (Pansus) Pembahas LKPJ Gubernur Kaltim Tahun 2024. Rapat tersebut dihadiri 32 anggota secara fisik dan 5 lainnya melalui zoom meeting, serta diikuti pula oleh Wakil Ketua DPRD Kaltim Ananda Emira Moeis, Yenni Eviliana, dan Sekretaris Daerah Provinsi, Sri Wahyuni, yang mewakili Gubernur Kaltim.
Ketua Pansus, Agus Suwandy, dalam laporannya menegaskan bahwa pembangunan di Kaltim selama tahun 2024 belum menyentuh secara merata seluruh aspek kehidupan masyarakat, terutama dalam peningkatan kualitas SDM.
“Pembangunan tahun 2024 dipandu oleh empat tujuan pembangunan, sebelas sasaran pembangunan, dan 29 indikator kinerja,” ungkap Agus.
Namun, menurutnya, capaian-capaian tersebut masih menyisakan berbagai persoalan. Salah satunya adalah tingkat prevalensi stunting yang stagnan di angka 22,9 persen, jauh di atas rata-rata nasional yang berada pada 21,5 persen dan belum mendekati target provinsi sebesar 12,83 persen pada tahun 2024.
“Kita masih jauh dari target. Penurunan stunting harus menjadi prioritas karena dampaknya jangka panjang dan tidak dapat dipulihkan. Pemerintah Provinsi harus segera menetapkan Peraturan Gubernur yang mengatur pedoman pencegahan dan penanganan stunting secara komprehensif,” tandasnya.
Selain stunting, persoalan pengangguran juga menjadi perhatian serius. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Kaltim pada 2024 mencapai 5,14 persen, tertinggi di antara seluruh provinsi di Kalimantan. Kondisi ini dianggap ironis, mengingat Kaltim menyumbang 48,4 persen PDRB regional Kalimantan.
“Ini menjadi paradoks di tengah fakta bahwa Kalimantan Timur menyumbang 48,4 persen PDRB Pulau Kalimantan. Sayangnya, tingginya PDRB tidak berbanding lurus dengan penurunan angka pengangguran,” terang Pansus.
DPRD juga menyoroti Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kaltim tahun 2024 yang secara agregat mencapai 78,79, tertinggi ketiga secara nasional. Namun, ketimpangan antarwilayah masih mencolok. Tiga kota besar Samarinda (83,11), Balikpapan (82,62), dan Bontang (82,49) mencapai status “Sangat Tinggi”, sementara Mahakam Ulu (70,79), Kutai Barat (74,76), dan Penajam Paser Utara (74,94) masih berada di bawah rata-rata nasional (75,02).
“Ini menunjukkan masih adanya kesenjangan signifikan dalam hal akses pendidikan, layanan kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat,” kata Pansus.
Dalam dimensi pendidikan, meski Harapan Lama Sekolah (HLS) Kaltim telah mencapai 14,03 tahun lebih tinggi dari nasional (13,21 tahun) dua kabupaten, Penajam Paser Utara (12,87) dan Mahakam Ulu (12,78), belum mampu melampaui angka nasional.
Rata-rata Lama Sekolah (RLS) di Kaltim pun tercatat 10,02 tahun, lebih tinggi dari nasional (8,85). Namun, kedua kabupaten tersebut tetap mencatat angka yang rendah, yaitu 8,57 dan 8,50 tahun.
Tak hanya itu, indikator kesehatan masyarakat pun masih menunjukkan ketimpangan. Angka harapan hidup Kaltim memang mencapai 75,03 tahun, di atas nasional (74,15), namun realisasi di tingkat kabupaten menunjukkan sebaliknya. Penajam Paser Utara (72,04), Berau (72,59), dan Kutai Kartanegara (72,94) mencatatkan capaian di bawah nasional.
Dari sisi kesetaraan gender, realisasi Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) Kaltim hanya sebesar 66,97, masih tertinggal dibandingkan rerata nasional. Tiga indikator penyusunnya kontribusi pendapatan perempuan (24,57%), keterwakilan di parlemen (21,82%), dan tenaga profesional perempuan (48,03%) masih di bawah capaian nasional.
Lebih mengkhawatirkan lagi, Indeks Ketimpangan Gender (IKG) justru mengalami peningkatan menjadi 0,441. “Kenaikan ketimpangan ini disebabkan oleh penurunan capaian pada dimensi pemberdayaan dan kesehatan reproduksi perempuan, salah satunya karena rendahnya keterwakilan perempuan di parlemen,” jelas Pansus.
Melalui laporan akhir ini, DPRD Kaltim menegaskan bahwa Pemprov harus segera merumuskan kebijakan yang tidak hanya progresif, tetapi juga responsif terhadap disparitas sosial dan ekonomi. Langkah konkret berupa regulasi dan program yang menyasar akar persoalan dianggap penting untuk mendorong pembangunan yang lebih adil dan merata di seluruh wilayah provinsi. [] ADVERTORIAL
Penulis: Muhammad Ihsan | Penyunting: Rasidah