PARLEMENTARIA SAMARINDA – Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda saat ini tengah melakukan penataan bantaran sungai Sungai Karang Asam Kecil yang berada di wilayah Kelurahan Teluk Lerong Ilir Kecamatan Samarinda Ulu dan Kelurahan Teluk Lerong Ulu Kecamatan Sungai Kunjang.
Penataan bantaran sungai tersebut di antaranya dengan melakukan pendataan untuk ganti rugi dan normalisasi sungai. Namun ganti rugi yang ditawarkan pihak Pemkot Samarinda dikeluhkan warga, karena nilainya terlalu kecil. Mereka yang mengeluhkan itu adalah warga dari RT 21 Kelurahan Teluk Lerong Ilir. Mereka pulalah yang mengadukan persoalan itu ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Samarinda.
Selasa (14/11/2023) tadi, Rapat Dengar Pendapat (RDP) dalam rangka menindaklanjuti aduan warga seputar ganti rugi penertiban bantaran sungai itu digelar. Adiansyah, Salah seorang warga yang mengadu, mengatakan bahwa nilai ganti rugi yang ditawarkan Pemkot tak akan dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. “Kami memohon kepada Pemkot untuk diperhatikan, kami sudah mendukung pemerintah,” katanya.
Ketua Komisi III DPRD Samarinda Angkasa Jaya Djoerani, usai digelarnya rapat tersebut, mengungkapkan latar belakang digelarnya RDP. “Kami dapat surat dari RT 21 Kelurahan Teluk Lerong Ilir, mereka dapat informasi masalah ganti rugi, sehingga saya memberikan waktu untuk rapat dengar pendapat dengan pihak pemkot dan warga,” ungkap Angkasa Jaya Djoerani kepada awak media.
Ia menjelaskan bahwa inti permasalahan ini yakni warga ingin Pemkot kembali mempertimbangkan jumlah ganti rugi dari penertiban tersebut. “Tadi maunya masyarakat kalau bisa ganti ruginya jangan berbeda dan disamakan nilainya, baik yang punya sertifikat maupun yang tidak. Tapi poinnya masyarakat tetap mendukung normalisasi ini,” terang politisi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini.
Berkaitan dengan permintaan warga itu, Angkasa Jaya Djoerani menyebut pihaknya tidak bisa mengintervensi terlalu jauh kebijakan Wali Kota, sebab berkaitan dengan aturan. Ia hanya memperhatikan dan mendengarkan. “Ada pengaturan yang mengatur, kami tidak bisa intervensi itu, dan kami hanya menyampaikan data aturan validasi. Kebijakannya tentu ada di Wali Kota, saya hanya bisa mendukung,” tutur Angkasa, sapaannya.
Menurut dia, nilai ganti rugi yang disamaratakan dapat dinilai sebagai pelanggaran hukum, apabila dipenuhi justru menimbulkan masalah. Ia mengingatkan, bentuk keadilan tidak harus sama, sebab persoalan ada atau tidak adanya sertifikat lahan yang dimiliki oleh warga terdampak tentu merupakan dua hal yang berbeda. “Kalau ini dipenuhi oleh Pemkot, timbul masalah, tapi Pemkot diharap dapat mengedepankan kemanusiaan,” kata Angkasa. []
Penulis: Selamet | Penyunting: Hadi Purnomo