BALIKPAPAN – Komitmen terhadap pengentasan kemiskinan ekstrem melalui jalur pendidikan kembali ditegaskan Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalimantan Timur (Kaltim) dalam rapat kerja bersama Dinas Sosial Provinsi Kaltim di Hotel Novotel Balikpapan, Jumat (11/07/2025). Dalam forum tersebut, DPRD Kaltim menyatakan dukungan penuh terhadap pelaksanaan program Sekolah Rakyat yang digagas oleh Kementerian Sosial Republik Indonesia.
Sekretaris Komisi IV DPRD Kaltim, Darlis Pattalongi, menekankan bahwa pelaksanaan program ini tidak boleh dilakukan setengah hati. Ia menyampaikan perlunya strategi rekrutmen yang aktif dan langsung menyasar anak-anak dari keluarga miskin ekstrem yang terdaftar dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
“Target rekrutmen siswa itu jangan cuma sebatas undangan. Pemerintah provinsi harus jemput bola. Kita punya tanggung jawab memastikan anak-anak dari keluarga miskin ekstrem bisa mengakses pendidikan gratis ini,” tegas Darlis.
Berdasarkan data dari Dinas Sosial Kaltim, terdapat lebih dari 110 ribu anak berusia 6 hingga 19 tahun yang berasal dari keluarga miskin. Hal ini mencerminkan potensi sekaligus tantangan besar yang harus dihadapi dalam implementasi Sekolah Rakyat di wilayah tersebut.
“Kalau kita serius, harus ada langkah afirmatif. Banyak anak yang tidak tahu program ini, bahkan ada resistensi dari orang tua. Kita tidak bisa hanya menunggu,” tambahnya.
Dalam penjelasannya, Darlis juga menyampaikan bahwa Sekolah Rakyat terbagi menjadi dua jenis, yakni rintisan dan permanen. Sekolah rintisan memanfaatkan bangunan sekolah yang sudah ada sambil menunggu pembangunan sekolah permanen oleh pemerintah pusat. Untuk pembangunan sekolah permanen, lahan yang dibutuhkan minimal delapan hektare, harus bersertifikat, dan bebas dari sengketa.
Tiga sekolah rintisan yang saat ini telah berjalan di Kaltim berlokasi di Balai Penjaminan Mutu Pendidikan (BPMP), Balai Pelatihan Vokasi dan Produktivitas (BPVP), serta SMAN 16 Samarinda.
Program ini mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah pusat, termasuk pembiayaan operasional melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp46 juta per siswa setiap tahun. Dana tersebut mencakup seluruh kebutuhan siswa, seperti makan, pakaian, alat tulis, perlengkapan mandi, serta kegiatan ekstrakurikuler.
“Kalau satu sekolah menampung 100 siswa, itu setara Rp4,6 miliar per tahun. Sementara anggaran pembangunan fisik satu sekolah bisa mencapai Rp210 miliar. Ini bukti komitmen negara untuk memberantas kemiskinan melalui pendidikan,” ungkap Darlis.
Meski pembiayaan pembangunan dan operasional berasal dari pusat, Darlis mengingatkan bahwa pemerintah daerah memiliki tanggung jawab besar dalam menyiapkan lahan dan mempercepat proses pengadaan. “Lahan siap pun butuh waktu satu tahun untuk pembangunan. Jadi pemerintah daerah harus gerak cepat,” pungkasnya.[] ADVERTORIAL
Penulis: Muhammad Ihsan | Penyunting: Rasidah
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan