SAMARINDA – Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Kalimantan Timur (DPRD Kaltim), Guntur, menilai kebijakan distribusi pupuk subsidi yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat tidak sejalan dengan kondisi dan kebutuhan riil petani di daerah. Ia menyebut pendekatan tersebut tidak mempertimbangkan keragaman karakteristik lahan pertanian di Indonesia.
“Ini yang bikin saya susah saat reses, di mana-mana petani tanya pupuk, tapi kami di DPRD Provinsi Kaltim tidak bisa memasukkan jadi usulan, karena semua ditangani pusat. Padahal saya juga petani dan prinsip saya tanpa petani kita mati, mau makan apa kalau tidak ada hasil pertanian,” ujar Guntur kepada awak media di kantor DPRD Kaltim, Jalan Teuku Umar, Samarinda, Jumat (18/07/2025).
Menurutnya, sistem distribusi pupuk subsidi yang diterapkan pemerintah pusat bersifat sentralistik dan belum mampu mengakomodasi kebutuhan petani di tiap wilayah. Ia mencontohkan kondisi tanah di Kalimantan Timur yang umumnya bersifat masam dengan kandungan zat besi tinggi, berbeda dengan tanah berkapur yang banyak ditemukan di Pulau Jawa.
“Kalau di Jawa mungkin pupuk urea atau TSP bisa dipakai tiga kali musim tanam, tapi di Kaltim tidak bisa seperti itu. Kami butuh kapur dulu untuk menetralkan tanah, jadi kalau pusat kasih urea terus percuma, petani kami butuhnya pupuk lain,” jelas Guntur.
Ia menambahkan, kebijakan yang dibuat dari atas tanpa pelibatan daerah justru menghambat upaya mencapai kemandirian pangan nasional. Guntur mengusulkan agar kewenangan distribusi pupuk subsidi diserahkan kepada pemerintah daerah agar lebih sesuai dengan kondisi lapangan.
“Kalau pusat mau swasembada pangan, pusat harus turun ke bawah, temui kelompok tani di desa-desa, jangan hanya minta kami mengawasi,” ucap wakil rakyat dari daerah pemilihan Kutai Kartanegara.
Guntur juga menekankan pentingnya kerja sama lintas tingkat pemerintahan. Menurutnya, kolaborasi antara pemerintah kabupaten, provinsi, dan pusat merupakan kunci dalam membangun sektor pertanian yang berdaulat dan berkelanjutan.
“Kalau kabupaten bisa bantu bibit, provinsi bantu pupuknya, dan pusat bantu alsintannya, baru itu namanya kolaborasi. Tapi kalau semua diambil pusat, kedaulatan pangan tidak bisa diraih hanya dengan kebijakan yang dipaksakan dari atas,” tutupnya. [] ADVERTORIAL
Penulis: Guntur Riyadi | Penyunting: Rasidah
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan