SAMARINDA – Dua mantan karyawan Rumah Sakit Haji Darjad (RSHD) Samarinda, Enie Rahayu Ningsih dan Agus Mu’alim, akhirnya memenangkan gugatan terhadap PT Medical Etam (ME), selaku pengelola rumah sakit tersebut, di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Pengadilan Negeri (PN) Samarinda, Kamis (25/09/2025). Putusan itu menjadi babak baru perjuangan pekerja yang di-PHK secara mendadak dan sepihak setelah melaporkan tunggakan gaji serta Tunjangan Hari Raya (THR) ke Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kalimantan Timur (Kaltim).
Kemenangan dua karyawan tersebut mendapat dukungan penuh dari anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Samarinda, Anhar SK. Ia menegaskan bahwa PT ME harus mematuhi dan melaksanakan keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
“Kalau PT ME punya tanggung jawab maka harus bayar, itu yang selalu saya tekankan. Artinya, pengusaha atau perusahaan yang PHK karyawannya harus bayar sebagai kontribusi kewajiban,” tegas Anhar saat ditemui awak media di kantor DPRD Samarinda, Jalan Basuki Rahmat, Senin (06/10/2025).
Menurutnya, langkah Enie dan Agus membawa perkara ini ke ranah hukum merupakan bentuk perjuangan untuk mendapatkan hak-hak normatif mereka sebagai pekerja. Anhar menilai, tindakan itu wajar dan sah karena pekerja memiliki hak untuk menuntut haknya setelah memberikan kontribusi besar bagi rumah sakit.
“Mereka sudah berkontribusi dan hanya hendak menuntut hak normatifnya saja. Jadi kewajiban perusahaan itu menyelesaikan ketika terjadi PHK, dan itu adalah hak pekerja. Kewajiban pekerja ketika direkrut adalah memberikan yang terbaik bagi rumah sakit,” ujarnya.
Anhar juga mengingatkan, peraturan dari Disnakertrans sudah jelas terkait sanksi bagi perusahaan yang mengabaikan kewajibannya, termasuk pembayaran gaji, THR, dan pesangon. Jika terbukti melanggar, izin usaha perusahaan dapat dicabut.
“Pengusaha seperti itu usahanya harus diblacklist mulai dari pusat sampai ke daerah, karena hanya membuat kegaduhan,” tegas politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu.
Ia menambahkan, penutupan RSHD Samarinda menjadi bukti nyata buruknya manajemen PT ME dalam mengelola rumah sakit. Menurut Anhar, kegagalan itu bisa dijadikan pelajaran penting bagi pihak swasta lainnya agar mengutamakan tata kelola yang profesional dan patuh hukum.
“Sekarang tutup rumah sakitnya. Jadi kalau memang manajemennya tidak bagus pasti tutup. Kenyataannya, RS Dirgahayu itu milik swasta bertahan sampai sekarang karena mutu manajemennya betul-betul bagus dan mengikuti prosedur standar mutu pelayanan,” tutup Anhar.
Kasus ini sekaligus menjadi sinyal peringatan bagi seluruh perusahaan di sektor kesehatan, bahwa pelanggaran terhadap hak-hak tenaga kerja tidak hanya mencoreng reputasi, tetapi juga dapat berujung pada runtuhnya kepercayaan publik dan kehancuran lembaga itu sendiri. [] ADVERTORIAL
Penulis: Guntur Riyadi | Penyunting: Rasidah
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan