SAMARINDA – Polemik keberadaan pabrik kelapa sawit milik PT Hamparan Khatulistiwa Indah (HKI) di Kutai Barat kembali menuai perhatian luas. Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) gabungan komisi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalimantan Timur (Kaltim), Selasa (12/08/2025), lembaga legislatif menyoroti potensi pelanggaran aturan yang dilakukan perusahaan jika tetap beroperasi tanpa melengkapi izin.

Ketua DPRD Kaltim, Hasanuddin Mas’ud, menegaskan, sebuah investasi tidak boleh berjalan sembarangan tanpa kepatuhan penuh terhadap regulasi. Menurutnya, hal itu bukan sekadar persoalan administratif, tetapi menyangkut perlindungan masyarakat dan lingkungan. “Kalau saya menangkap dari ormas yang diwakili Pak Rudolf, pabrik tersebut berdiri dan mulai commissioning tanpa izin lingkungan lengkap. Bagaimana penjelasannya?” ujarnya mempertanyakan kepada Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kaltim.
Rapat tersebut juga menghadirkan Panglima Besar Laskar Dayak Mandau Bersatu, Rudolf, yang membawa aspirasi masyarakat terkait kekhawatiran dampak operasional pabrik sawit itu. Aduan inilah yang mendorong DPRD meminta penjelasan resmi dari pemerintah provinsi.
Kepala DLH Kaltim, Anwar Sanusi, mengungkapkan bahwa izin lingkungan PT HKI masih dalam proses. Menurutnya, sebagian besar dokumen sudah dipenuhi, termasuk izin penggunaan air dari Balai Wilayah Sungai. Namun, ia mengakui legalitas itu belum rampung sepenuhnya.
Bagi Hasanuddin, penjelasan tersebut belum menjawab keresahan publik. Ia menekankan, pabrik sawit dengan kapasitas 60 ton tandan buah segar (TBS) per jam seharusnya memiliki kebun inti dan kebun kemitraan sebagai sumber bahan baku. Padahal, berdasarkan pengamatan, perusahaan tidak memiliki perkebunan sendiri. Kondisi itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan yang mengatur kewajiban minimal 20 persen pasokan dari kebun inti dan 20 persen dari kemitraan.
“Tanamannya tidak ada. Saya ingin memastikan ini jangan sampai menjadi masalah,” tegasnya.
Selain aspek legal, Hasanuddin juga mengingatkan dampak ekologis, terutama risiko pencemaran Sungai Bongan yang menjadi sumber kehidupan warga sekitar. “Air ini sumber kehidupan masyarakat, jangan sampai rusak,” katanya.
Menurut DPRD, keberadaan pabrik tanpa kebun berpotensi mendorong perusahaan bergantung pada pasokan eksternal. Jika dibiarkan, praktik itu bisa menimbulkan tekanan terhadap lahan masyarakat maupun eksploitasi sumber daya air. Hal ini dikhawatirkan menyalahi prinsip keberlanjutan dan berujung pada konflik sosial.
“Aturannya jelas, dan kalau tidak dipenuhi, konsekuensinya juga jelas,” Hasanuddin menegaskan.
DPRD menekankan, meskipun investasi sawit berkapasitas besar menjanjikan manfaat ekonomi, regulasi tidak boleh dinegosiasikan. Fungsi legislatif, menurut Hasanuddin, bukan sekadar mengawasi aturan, tetapi juga memastikan kepentingan masyarakat terlindungi dari risiko kerugian sosial maupun lingkungan.
Dengan demikian, DPRD menegaskan bahwa keseimbangan antara kepentingan investasi dan keberlanjutan harus menjadi pijakan utama. Tanpa kepatuhan terhadap regulasi, manfaat ekonomi yang ditawarkan berpotensi tertutup oleh masalah lingkungan dan konflik di tingkat lokal. [] ADVERTORIAL
Penulis: Muhammad Ihsan | Penyunting: Rasidah
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan