Iran Tetap Tangguh Meski Disanksi Bertubi-tubi

JAKARTA – Sejak Revolusi Islam 1979 yang menggulingkan kekuasaan Shah Mohammad Reza Pahlavi, Iran telah menghadapi serangkaian sanksi ekonomi dari Amerika Serikat dan sekutunya. Meski dibekap tekanan selama lebih dari empat dekade, negara tersebut tetap menunjukkan ketahanan yang luar biasa.

Revolusi 1979 menjadi titik balik hubungan Iran dengan Barat, khususnya AS dan Israel, yang sebelumnya merupakan sekutu dekat Iran di masa kepemimpinan Shah. Setelah Ayatollah Khomeini memimpin Republik Islam Iran, Amerika menjatuhkan sanksi pertama melalui Perintah Eksekutif 12170. Sanksi itu mencakup pembekuan aset Iran senilai sekitar US$8,1 miliar serta embargo perdagangan. Meski sempat dicabut dua tahun kemudian, tekanan terus berlanjut.

Pada 1984, saat perang Iran-Irak memanas, embargo pembelian senjata kembali diberlakukan. Perang ini bahkan menyeret dua kutub kekuatan dunia saat itu, AS dan Uni Soviet, yang mendukung pihak berbeda dalam konflik tersebut.

Memasuki dekade 1990-an, AS meningkatkan tekanan terhadap Iran yang dituding mengembangkan program senjata nuklir. Presiden Bill Clinton mengesahkan dua perintah eksekutif (EO 12957 dan EO 12959) pada 1995 yang melarang kerja sama sektor energi dan perdagangan bilateral. Pada 1996, diberlakukan sanksi sekunder yang menargetkan perusahaan non-AS agar tidak bertransaksi dengan Iran.

Ketegangan meningkat pada 2005 ketika Presiden Mahmoud Ahmadinejad menolak proposal negosiasi nuklir dari Uni Eropa. Empat resolusi Dewan Keamanan PBB dijatuhkan—1737 (2006), 1747 (2007), 1803 (2008), dan 1929 (2010)—yang secara khusus menargetkan pengembangan teknologi nuklir dan rudal Iran, serta pembatasan perdagangan senjata.

Sanksi juga diperluas oleh negara-negara Barat di bidang energi, keuangan, dan transportasi. Pada 2010 dan 2012, tekanan ditingkatkan melalui sanksi sekunder baru, termasuk ancaman pencabutan akses ke sistem keuangan AS bagi negara atau entitas yang membeli minyak Iran. Akibatnya, ekspor minyak Iran sempat turun hingga 1,4 juta barel per hari.

Namun demikian, Iran tetap bertahan. Presiden Iran saat ini, Masoud Pezeshkian, menegaskan bahwa negaranya tak akan tunduk pada tekanan sanksi.

“Kami tidak akan mati kelaparan jika mereka menolak berunding dengan kami atau menjatuhkan sanksi. Kami akan menemukan cara untuk bertahan hidup,” kata Pezeshkian, dikutip dari media pemerintah dan Reuters.

Ketahanan Iran di tengah tekanan global menjadi cermin kegigihan sebuah negara dalam mempertahankan kedaulatan dan kebijakan nasionalnya, meski harus berhadapan dengan kekuatan besar dunia selama puluhan tahun. []

Redaksi10

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com