Kecanduan Global: Mewah Jadi Sumber Validasi

LONDON – Dari barang-barang desainer hingga prosedur kosmetik, kecanduan terhadap kemewahan terus berkembang tanpa disadari. Hal ini terungkap oleh Paracelsus Recovery, sebuah klinik kesehatan mental terkemuka yang berbasis di Zurich. Klinik ini mendefinisikan sindrom baru yang semakin banyak ditemui pada klien yang kecanduan barang-barang mewah sebagai “opulomania.”

1. Pengaruh Media Sosial

“Didorong oleh media sosial, akses mudah ke merek global, dan akumulasi kekayaan yang cepat, batas antara pemanjaan yang sehat dan dorongan psikologis yang berlebihan semakin kabur,” ujar Jan Gerber, Pendiri dan CEO Paracelsus Recovery, dalam sebuah pernyataan, yang dilansir oleh Al Jazeera. Orang dewasa muda, pengusaha, influencer, dan bahkan pewaris bisnis keluarga tradisional semakin terjebak dalam pengejaran kemewahan yang terus menerus—mulai dari berbelanja berlebihan dan mengoleksi mobil, hingga melakukan perjalanan yang berlebihan dan prosedur kosmetik, untuk mengisi kekosongan emosional dalam diri mereka.

“Bahkan jika klien datang untuk mengatasi trauma, kelelahan, depresi, atau kecanduan zat, ketergantungan pada barang mewah sebagai tolok ukur harga diri sering kali menjadi masalah yang mendasarinya. Ini bukan soal tas desainer atau kapal pesiar—ini adalah mekanisme penanganan emosional yang tidak terkontrol,” tambah Gerber.

2. Simbol Pencapaian

Selama dua dekade terakhir, kemewahan telah berubah dari simbol prestasi yang langka menjadi aspirasi yang banyak dipasarkan. LVMH, konglomerat mewah terbesar di dunia, menjadi contoh nyata. Pada tahun 2005, perusahaan ini mencatatkan pendapatan lebih dari 15 miliar dolar AS. Namun, pada tahun 2023, angka ini melambung menjadi lebih dari 97,4 miliar dolar AS, dengan kapitalisasi pasarnya yang kini mencapai lebih dari 453 miliar dolar AS—peningkatan lebih dari 500 persen. Hal ini tidak hanya menunjukkan keberhasilan finansial, tetapi juga mencerminkan perubahan budaya yang lebih dalam dalam cara masyarakat memandang dan mengonsumsi kemewahan, jelas Gerber.

3. Sumber Validasi Pribadi

Ketergantungan psikologis yang semakin besar pada identitas merek sebagai sumber validasi pribadi menjadi pendorong utama dari peningkatan ini. Kemewahan kini tidak hanya sekadar pemanjaan sesekali, melainkan menjadi aspirasi gaya hidup yang berkelanjutan—sering kali disamarkan sebagai tanda kesuksesan, namun pada kenyataannya sangat terkait dengan pelarian emosional. Sistem dopamin di otak, yang pada dasarnya berfungsi untuk mendukung kelangsungan hidup dengan meningkatkan motivasi, kini digunakan untuk memperkuat kecanduan terhadap kemewahan yang terus menerus.

4. Tantangan Menghadapi Kecanduan Konsumsi Mewah

Bergantung pada barang mewah tidak hanya menyulitkan individu untuk merasa puas, tetapi juga bisa menimbulkan perasaan hampa dan terputus dari kenyataan, yang dapat meningkatkan kerentanannya terhadap masalah kesehatan mental yang lebih parah. Gerber menambahkan, “Aspek paling berbahaya dari perilaku ini adalah penerimaan sosial yang semakin besar terhadapnya. Kita hidup dalam budaya di mana pembelian barang berikutnya dipandang sebagai jalan yang sah menuju kebahagiaan. Padahal, yang sesungguhnya kita inginkan bukanlah barang itu, tetapi keadaan emosional yang kita harapkan tercapai, seperti rasa aman, kekaguman, dan hubungan yang lebih baik.”

5. Pentingnya Kesadaran Diri dan Rasa Syukur

Untuk melawan dorongan kecanduan terhadap kemewahan sebagai ukuran harga diri, Paracelsus Recovery menyarankan penerapan praktik sederhana namun transformatif, seperti pemeriksaan rasa syukur dan kesadaran diri. “Dengan bertanya, ‘Bagaimana perasaan saya saat ini?’ atau ‘Apa yang saya syukuri?’ akan mengarahkan pikiran kita ke arah kehadiran, bukan pengejaran,” ujar Gerber.

Pendekatan holistik dari klinik ini bertujuan untuk menghentikan pola perilaku tersebut dengan memadukan terapi berbasis ilmu saraf dan praktik introspektif. Klien dibimbing menuju konsumsi yang lebih sadar dan kesadaran emosional yang lebih baik. “Tujuannya bukan untuk menolak kemewahan atau keindahan, tetapi untuk memberikan kontrol penuh kepada individu atas bagaimana dan mengapa mereka mengonsumsinya,” tambah Gerber.[]

Redaksi12

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com
X