JAKARTA – Kejaksaan Agung menyatakan akan berhati-hati dalam menangani aset milik PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) yang telah dinyatakan pailit. Tindakan ini berkaitan dengan penyidikan kasus dugaan korupsi dalam pencairan kredit yang mengakibatkan kerugian negara hingga Rp692 miliar. Langkah ini diambil untuk memastikan agar proses hukum tidak mengganggu hak-hak para mantan pekerja perusahaan tekstil tersebut yang hingga kini masih dalam tahap pendataan pasca-penutupan resmi perusahaan pada (01/03/2025).
“Penyidik akan secara bijak melihat agar jangan sampai hak-hak pekerja yang sekarang dalam proses pendataan itu terganggu,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, saat ditemui di kompleks Kejaksaan, Jakarta Selatan, pada (02/06/2025).
Dalam proses penyidikan, Kejagung telah memeriksa Direktur Utama Sritex, Iwan Kurniawan Lukminto, untuk mendalami peran yang bersangkutan dalam proses pencairan kredit dari sejumlah bank. Iwan sebelumnya menjabat sebagai Wakil Direktur Utama Sritex selama sembilan tahun, dari 2014 hingga 2023, yakni periode ketika dugaan korupsi senilai Rp3,5 triliun diduga terjadi. Ia baru menjadi Direktur Utama pada 2023. Harli mengatakan bahwa posisi Iwan juga tercatat sebagai direktur pada beberapa anak usaha Sritex yang kini turut disorot.
Dalam pengembangan kasus ini, Kejaksaan telah menetapkan tiga tersangka, yakni Iwan Setiawan Lukminto yang merupakan Komisaris Utama Sritex, Zainuddin Mappa selaku Direktur Utama Bank DKI periode 2020, serta Dicky Syahbandinata, eks Pemimpin Divisi Korporasi dan Komersial Bank BJB periode 2020. Dua nama terakhir disebut meloloskan kredit kendati status risiko Sritex dinilai sangat tinggi (kategori BB) dan tidak didukung jaminan sebagaimana mestinya, yang bertentangan dengan standar operasional prosedur dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Adapun Iwan Setiawan diduga menggunakan dana pencairan kredit tidak sesuai peruntukan. Dana yang semestinya dialokasikan untuk modal kerja justru digunakan untuk membayar utang dan membeli aset non-produktif.
Terkait kemungkinan penyitaan aset, Kejaksaan membuka peluang tersebut namun tetap menekankan prinsip kehati-hatian. Harli menambahkan bahwa proses pidana tetap harus berjalan meskipun perusahaan tengah menjalani proses perdata dan kepailitan. “Kalau saya melakukan tindak pidana korupsi lalu saya sampaikan, ‘coba gugat saya, supaya pailit’, ini berbahaya bagi negara,” katanya.
Penyidik kini sedang memetakan aset yang tidak terikat dalam perkara perdata untuk mendukung pemulihan kerugian negara secara optimal. Sementara itu, Direktur Penyidikan Jampidsus, Abdul Qohar, menyebut pola serupa kemungkinan juga terjadi pada bank-bank lain yang memberikan kredit kepada Sritex melalui skema sindikasi. Bank-bank yang dimaksud antara lain BRI, BNI, dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).
“Modus yang sama bisa saja muncul di tempat lain,” ucapnya.
Hingga saat ini, sebanyak 50 saksi dan seorang ahli dari sektor perbankan maupun swasta telah dimintai keterangan. Berdasarkan penyelidikan, total kredit bermasalah Sritex yang belum dilunasi hingga Oktober 2024 mencapai Rp3,5 triliun. Kredit tersebut terdiri atas pinjaman dari Bank Jateng sebesar Rp395,6 miliar, Bank BJB Rp543,9 miliar, Bank DKI Rp149 miliar, serta kredit sindikasi dari BRI, BNI, dan LPEI senilai sekitar Rp2,5 triliun. []
Redaksi11