Ketimpangan Penguasaan Tanah di Indonesia

Oleh Muhammad Yusup

PEMBANGUNAN di berbagai sektor terus bergulir, diiringi ekspansi besar-besaran pelaku usaha properti, pertanian, dan perkebunan. Aktivitas ini memicu peningkatan kebutuhan lahan, yang kerap menggeser kepemilikan tanah masyarakat. Dampaknya, ketimpangan penguasaan tanah—yang sebelumnya sudah tinggi—kian melebar. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (2021) menunjukkan, rasio gini kepemilikan tanah di Indonesia mencapai 0,68. Artinya, satu persen kelompok pengusaha dan korporasi menguasai 68 persen daratan nasional, sementara 99 persen penduduk berebut sisa 32 persen. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Jawa, tetapi juga meluas ke wilayah luar Jawa (CNN Indonesia, 13 September 2021).

Regulasi sebenarnya telah ada perangkat regulasi yang dapat menjadi solusi atas persoalan tersebut. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) melarang penguasaan tanah berlebihan yang merugikan kepentingan umum. Aturan turunannya, UU No. 56 Prp 1960, membatasi kepemilikan tanah pertanian per keluarga maksimal 20 hektare. Namun, regulasi ini tidak mengikat badan hukum, sehingga korporasi leluasa mengakumulasi lahan melalui izin lokasi atau pelepasan kawasan hutan. Padahal, spekulasi tanah marak terjadi: pembelian tanah skala besar dengan harga murah, ditelantarkan, lalu dijual saat harga melonjak.

Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 18 Tahun 2016 mencoba membatasi penguasaan tanah pertanian oleh perorangan dan badan hukum. Untuk perorangan, batasannya bervariasi berdasarkan kepadatan penduduk (6–20 hektare). Sementara bagi korporasi, ketentuan diserahkan pada surat keputusan pemberian hak—yang kerap mengacu pada izin lokasi atau KKPR (Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang). Sayangnya, aturan izin lokasi yang pernah membatasi penguasaan lahan per grup usaha (misalnya 4.000 hektare untuk kawasan resort) telah dicabut. Akibatnya, kontrol terhadap korporasi semakin lemah.

Di sektor nonpertanian, Keputusan Menteri Agraria Nomor 6 Tahun 1998 membatasi kepemilikan rumah tinggal perorangan maksimal 5 bidang dengan total 5.000 m². Namun, aturan ini tidak efektif karena minimnya sanksi dan lemahnya sistem pendataan. Padahal, UUPA mengamanatkan pembatasan tanah untuk perumahan melalui peraturan pemerintah—yang hingga kini belum terbit.

Pemerintah dinilai perlu merevitalisasi kebijakan agraria. Langkah krusial termasuk menerbitkan aturan setingkat undang-undang atau peraturan presiden yang secara tegas membatasi penguasaan tanah oleh korporasi dan perorangan. Misalnya, menetapkan batas maksimum kepemilikan tanah per grup usaha, disertai sanksi tegas seperti pengambilalihan tanah oleh negara jika melampaui ketentuan. Selain itu, penguatan Sistem Informasi Pertanahan Nasional (SIPN) mutlak diperlukan untuk memantau kepemilikan tanah secara real-time, termasuk identifikasi kepemilikan silang oleh satu grup usaha.

Upaya ini harus sejalan dengan penegakan reforma agraria yang berkeadilan. Jika tidak, ketimpangan akan terus mengancam stabilitas sosial-ekonomi. Seperti ditegaskan UUPA, tanah bukan sekadar komoditas, melainkan sarana mencapai “kesejahteraan bersama” sebagai cita-cita konstitusi. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com
X