Ketua DPRD Kaltim Tepis Anggapan Dewan Tentukan Sendiri Tunjangan

SAMARINDA – Polemik mengenai besaran tunjangan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalimantan Timur (Kaltim) kembali menyeruak dan menjadi pembicaraan publik. Persoalan ini mencuat usai digelarnya Rapat Paripurna ke-35 DPRD Kaltim di Gedung Utama (B) Karang Paci, Jalan Teuku Umar, Samarinda, Jumat malam (12/09/2025).

Dalam kesempatan itu, Ketua DPRD Kaltim, Hasanuddin Mas’ud atau Hamas, mendapat pertanyaan dari sejumlah jurnalis mengenai berapa sebenarnya nilai “take home pay” wakil rakyat. Pertanyaan tersebut muncul lantaran pos tunjangan perumahan yang diterima anggota dewan dinilai jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata penghasilan masyarakat di Kaltim.

Menanggapi hal tersebut, Hamas sempat menunjukkan keberatan. Ia menilai, pertanyaan mengenai nominal tunjangan tidak pantas dilontarkan kepada pimpinan dewan karena dapat menimbulkan polemik. Namun, ia akhirnya memberikan penjelasan dengan menekankan bahwa seluruh gaji dan tunjangan anggota DPRD telah diatur oleh regulasi resmi.

“Semua yang diterima anggota DPRD, baik gaji pokok maupun tunjangan, itu ditentukan oleh aturan resmi. Ada dasar peraturan perundang-undangan dari pemerintah pusat maupun peraturan daerah yang dibuat bersama pemerintah provinsi. Jadi bukan kebijakan internal DPRD,” jelas Hamas.

Pernyataan itu menegaskan bahwa DPRD Kaltim tidak memiliki kewenangan penuh dalam menentukan besaran tunjangan. Menurut Hamas, angka-angka tersebut merupakan hasil penyesuaian yang mengacu pada kebutuhan operasional, standar biaya, serta regulasi nasional yang berlaku.

Meski demikian, jawaban itu belum sepenuhnya meredam perhatian publik. Tunjangan perumahan DPRD Kaltim kerap dianggap sangat besar bila dibandingkan dengan provinsi lain. Hal ini berkaitan dengan status Kaltim sebagai daerah penghasil sumber daya alam yang memiliki kapasitas fiskal cukup tinggi.

Bagi masyarakat sipil, transparansi soal gaji dan tunjangan pejabat publik bukan sekadar masalah teknis, tetapi menyangkut keadilan sosial. Kritik muncul karena di satu sisi anggota dewan memperoleh tunjangan besar, sementara di sisi lain angka kemiskinan dan kesenjangan sosial di Kaltim masih cukup tinggi.

Pengamat menilai, keterbukaan informasi soal pendapatan pejabat publik merupakan salah satu cara membangun kepercayaan rakyat terhadap lembaga perwakilan. Tanpa transparansi, tudingan negatif terhadap DPRD akan terus mengemuka, terlebih menyangkut dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Hamas sendiri menekankan kembali bahwa besaran tunjangan bukan ditentukan secara sepihak oleh DPRD. Namun, ia tidak menutup ruang bagi publik untuk memberikan kritik. Baginya, perdebatan soal etis atau tidak etisnya pertanyaan mengenai tunjangan harus diimbangi dengan pemahaman bahwa regulasi merupakan acuan utama.

Kendati demikian, publik menilai, jawaban normatif semata tidak cukup. Masyarakat menginginkan data lebih detail mengenai komponen pendapatan anggota dewan agar jelas mana yang termasuk gaji pokok, tunjangan operasional, maupun tunjangan perumahan.

Isu ini diperkirakan tidak akan berhenti dalam waktu dekat. Selama belum ada langkah transparansi nyata dari DPRD maupun Pemprov Kaltim, sorotan publik atas “take home pay” anggota dewan berpotensi terus bergulir. Masyarakat kini menunggu kejelasan, bukan sekadar klarifikasi singkat, agar wacana tentang tunjangan fantastis dapat benar-benar terjawab secara terbuka. [] ADVERTORIAL

Penulis: Himawan Yokominarno | Penyunting: Rasidah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com