NUNUKAN – Dalam sebuah kontrakan sederhana di Jalan Ujang Dewa, Kecamatan Nunukan Selatan, hidup seorang bocah perempuan bernama Farah yang menyimpan kisah luar biasa. Bocah berusia hampir empat tahun ini tidak hanya harus menjalani kehidupan dengan keterbatasan fisik, tetapi juga melawan tiga penyakit langka sekaligus: hidrosefalus, spina bifida, dan bibir sumbing.
Kondisi Farah yang hanya memiliki berat badan 7 kilogram membuatnya lebih sering tengkurap di dalam kamar ber-AC. Suhu panas dapat menyebabkan demam dan membuat tubuhnya lemas. “Kalau dibaringkan telentang, dia sendiri akan balik tengkurap. Kalau saya bawa keluar ke kaki lima rumah saja, badannya langsung panas dan demam,” ujar ibunya, Rosmaria, dengan suara pelan namun tegar, Sabtu (14/06/2025).
Farah lahir melalui operasi sesar. Sejak dalam kandungan, dokter telah menemukan tanda-tanda kelainan seperti kepala yang membesar dan bibir sumbing melalui hasil USG. Namun, setelah lahir, kondisi Farah ternyata lebih kompleks. Ia juga mengidap spina bifida, kondisi langka yang ditandai dengan adanya lubang pada punggung. “Usia 28 hari langsung dirujuk dari RSUD Nunukan ke Balikpapan. Di sana dipasang selang dari kepala ke perut untuk mengalirkan cairan ke urine. Kalau tidak dipasang, kepalanya makin besar dan jidatnya dulu sempat menonjol,” jelas Rosmaria.
Kini, meskipun kepala Farah menunjukkan perbaikan, langkah pemulihan masih panjang. Rencana kontrol ulang dan operasi bibir tertunda karena terkendala biaya. Dalam kesehariannya, Farah sangat bergantung pada kondisi ruangan yang sejuk. “Kalau mati lampu, AC ikut mati. Dia langsung rewel, nangis terus. Jadi saya kipas-kipas pakai tangan atau lap-lap badannya pakai air supaya tidak kepanasan,” ujar sang ibu.
Rosmaria dan suaminya kini tinggal di rumah kontrakan bersama tiga anak mereka. Sebelumnya, mereka sempat menempati barak milik pemerintah daerah karena sang suami bekerja sebagai satpam di DPRD Nunukan. Namun sejak diberhentikan dua tahun lalu dan harus membawa Farah berobat ke Balikpapan, mereka pun meninggalkan rumah tersebut.
“Kami tinggalkan rumah itu, tapi minta ganti rugi biaya renovasi kepada penghuni rumah yang sekarang sebesar Rp6 juta. Kami juga jual motor buat biaya transportasi dan hidup di Balikpapan,” kenang Rosmaria.
Biaya hidup selama di Balikpapan mencapai Rp20 juta. Untungnya, operasi Farah dicover BPJS Kesehatan. Bahkan, seorang dokter turut membantu menalangi kekurangan biaya sebesar Rp2 juta.
Dengan kondisi tubuh yang masih lemah dan kekurangan zat besi, Farah tidak diberi makanan kemasan. Ia hanya mengonsumsi nasi dan sayur. Untuk suplemen, ibunya lebih memilih membeli sendiri di apotek daripada mengantre di rumah sakit. “Makan juga tidak dikasih makanan kemasan. Hanya nasi dan sayur,” tuturnya.
Pendapatan keluarga yang mengandalkan hasil kerja harian dari memukat dan mabetang rumput laut belum mampu memenuhi seluruh kebutuhan pengobatan dan perawatan Farah. Penghasilan harian paling tinggi yang diperoleh suami-istri ini hanya berkisar antara Rp70 ribu hingga Rp120 ribu.
Kini, bantuan dari masyarakat mulai mengalir. Donasi yang masuk telah mencapai Rp7 juta. Namun, kebutuhan mendesak seperti kontrol ulang, kemungkinan penggantian selang, dan operasi bibir sumbing masih menunggu kepastian. “Rencana mau ganti selang, kontrol belakang, dan operasi bibir. Tapi belum tahu apakah operasi bibir sumbing ditanggung BPJS atau tidak. Katanya sih bisa, tapi saya belum sempat tanya langsung,” kata Rosmaria.
Farah, dengan tubuh mungilnya dan senyum polos yang tak lepas dari wajahnya, menjadi simbol ketabahan. Ia hanya bisa mengucap “oke” dan “iya” saat ditanya apakah ingin makan. Namun, semangat hidupnya tak pernah padam menjadi potret nyata harapan yang terus menyala, meski dalam gelapnya keterbatasan. [] Admin03