Kukar Bangun Pariwisata dari Kearifan Lokal

KUTAI KARTANEGARA – Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) memperkuat komitmen pariwisata berkelanjutan dengan mengangkat sepuluh desa sebagai destinasi edukatif yang memadukan kekayaan budaya, sejarah, dan harmonisasi manusia dengan alam. Program ini dirancang untuk menciptakan “laboratorium hidup” yang tidak hanya menarik wisatawan, tetapi juga menjadi ruang pembelajaran lintas generasi tentang pelestarian lingkungan dan nilai-nilai lokal.

Kepala Dinas Pariwisata Kukar, Arianto, menegaskan bahwa konsep ini merupakan terobosan untuk membangun pariwisata berbasis partisipasi masyarakat. “Ini bukan sekadar destinasi, tapi laboratorium hidup untuk pembelajaran lintas generasi. Kami ingin wisatawan tidak hanya datang, tetapi juga mengambil nilai-nilai yang bisa diterapkan di tempat asal mereka,” ujarnya pada Rabu (9/4/2025).

Sepuluh desa yang diprioritaskan menawarkan pendekatan tematik beragam. Desa Kedang Ipil di Kecamatan Kota Bangun, misalnya, mengusung perpaduan lanskap alam dan tradisi adat yang terjaga ratusan tahun. Sementara Desa Kersik di Marang Kayu mengandalkan ekosistem mangrove dan garis pantai sebagai sarana edukasi konservasi pesisir. “Wisatawan diajak memahami pentingnya menjaga keseimbangan laut, sekaligus melihat langsung upaya warga merestorasi mangrove,” jelas Arianto.

Di sektor agrowisata, Desa Batuah dan Sumber Sari menawarkan pengalaman langsung memetik hasil kebun sambil mempelajari peran pertanian dalam menopang ekonomi dan budaya lokal. Sementara warisan sejarah dihidupkan melalui Desa Sanga-Sanga Dalam yang menyimpan kisah heroik perjuangan melawan penjajah, serta Kutai Lama yang memamerkan peninggalan Kerajaan Kutai, kerajaan tertua di Nusantara.

Konsep ekowisata diimplementasikan di Desa Sangkuliman dan Muara Kaman Ulu, di mana Sungai Mahakam menjadi pusat petualangan alam sekaligus pembelajaran tentang konservasi sungai. Tak kalah unik, Desa Pela menjadi simbol pelestarian lingkungan dengan keberadaan Pesut Mahakam, mamalia air langka yang menjadi ikon konservasi Kukar. “Danau di Desa Pela bukan hanya destinasi, tapi ruang dialog antara pariwisata dan ekologi,” tambah Arianto.

Menurutnya, kunci keberhasilan desa wisata terletak pada kedekatan antara masyarakat dan pengunjung, bukan pada kemegahan infrastruktur. Festival budaya disebut sebagai medium efektif untuk menjembatani nilai-nilai tersebut. “Festival desa adalah jendela awal yang mempertemukan identitas lokal dengan dunia luar. Tapi keberlanjutan adalah kunci. Wisata yang berhasil adalah wisata yang mampu memuliakan manusianya, menjaga alamnya, dan menceritakan sejarahnya,” tegasnya.

Program ini juga dirancang untuk memberdayakan ekonomi lokal. Masyarakat dilibatkan sebagai pemandu wisata, pengelola homestay, hingga produsen kuliner dan kerajinan khas. Pelatihan kewirausahaan dan manajemen destinasi diberikan agar warga mampu mengoptimalkan potensi desa tanpa mengorbankan kearifan lokal.

Dengan pendekatan holistik ini, Kukar berharap dapat menciptakan model pariwisata yang tidak hanya mendatangkan devisa, tetapi juga menjaga warisan budaya dan alam untuk generasi mendatang. “Kami tidak ingin desa hanya jadi objek foto. Mereka harus menjadi ruang hidup yang terus bernapas, bercerita, dan menginspirasi,” pungkas Arianto.

Revitalisasi desa wisata ini menjadi bukti nyata upaya Kukar menjawab tantangan pariwisata modern: menghadirkan kesan mendalam bagi wisatawan sembari memastikan keberlanjutan ekologis dan sosial-budaya. Dengan sepuluh desa sebagai pionir, langkah ini diharapkan memicu gelombang transformasi serupa di wilayah lain di Kalimantan Timur. []

Penulis: Dedy Irawan | Penyunting: M. Reza Danuarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com
X