Model Kemitraan Solusi Cegah Konflik Agraria

KUTAI KARTANEGARA – Dinas Perkebunan (Disbun) Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) terus memantau kondisi lahan perkebunan di Desa Lung Anai, Kecamatan Loa Kulu, yang kini berpotensi menjadi persoalan agraria di masa mendatang.

Kawasan tersebut dikelilingi sejumlah perusahaan tambang, sementara sebagian berada di dalam area Hak Guna Usaha (HGU). Di sisi lain, warga setempat telah turun-temurun mengelola lahan di wilayah itu, sehingga menimbulkan potensi konflik kepentingan antara masyarakat dan perusahaan.

Kepala Bidang Usaha dan Penyuluhan Disbun Kukar, Samsiar, menekankan pentingnya penyelesaian potensi tumpang tindih lahan secara bijak agar tidak berkembang menjadi konflik terbuka. Menurutnya, langkah terbaik adalah melalui pola kemitraan yang memberi ruang keadilan bagi kedua belah pihak.

“Kalau warga yang memang sudah turun-temurun tinggal dan berusaha di situ disuruh keluar, itu tidak manusiawi. Kita dorong agar mereka dirangkul oleh perusahaan melalui pola kemitraan yang saling menguntungkan,” ujar Samsiar di Tenggarong, Senin (21/07/2025).

Samsiar menyebut kondisi di Lung Anai cukup sensitif karena menyangkut kehidupan ekonomi warga yang telah lama bergantung pada lahan tersebut. Sebagian masyarakat memiliki kebun kakao yang berdekatan, bahkan sebagian bersinggungan dengan HGU dan konsesi tambang.

Untuk mencegah persoalan hukum di masa depan, Disbun Kukar terus melakukan sinkronisasi antara izin lokasi, izin usaha perkebunan (IUP), dan HGU. Upaya ini dilakukan bersama Badan Pertanahan Nasional (BPN) serta Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Samarinda, guna memastikan kesesuaian antara peta administrasi dan kondisi lapangan.

“Di peta administrasi kelihatannya rapi, tapi di lapangan kadang berbeda. Ada batas lahan yang berhimpit atau tampak tumpang tindih. Itu semua sedang kita perbaiki supaya tidak muncul masalah di kemudian hari,” jelas Samsiar.

Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa sebagian kawasan perkebunan di Kukar juga terdampak perubahan kebijakan penunjukan kawasan hutan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Beberapa lahan warga yang sejak lama dikelola secara tradisional kini masuk dalam peta kawasan hutan.

“Ini bentuk kearifan lokal masyarakat kita di Kalimantan. Banyak yang sudah menguasai lahan secara turun-temurun, tetapi tidak memiliki surat resmi. Maka pemerintah daerah harus bijak menanganinya,” tutur Samsiar.

Melalui pola kemitraan, masyarakat tetap dapat mengelola lahannya secara legal dengan pengawasan perusahaan. Pihak perusahaan berkewajiban membantu peningkatan kapasitas petani, menampung hasil kebun, serta menjaga stabilitas sosial di lingkungan kerja.

“Warga punya kewajiban menjaga lingkungan, tidak membakar lahan, dan tidak terlibat dalam kegiatan yang melanggar hukum. Sebaliknya, perusahaan juga harus mendukung kesejahteraan masyarakat melalui kerja sama yang konkret,” sambung Samsiar.

Disbun Kukar menilai pendekatan kemitraan sebagai jalan tengah paling efektif untuk menghindari konflik agraria jangka panjang. Pendekatan ini sejalan dengan semangat pemerintah daerah yang menempatkan masyarakat sebagai subjek pembangunan sektor perkebunan.

“Selama ini konflik agraria sering terjadi karena masing-masing pihak hanya memikirkan kepentingan sendiri. Dengan pola kemitraan, kita ingin menciptakan hubungan yang saling menguntungkan dan berkelanjutan,” tutup Samsiar. [] ADVERTORIAL

Penulis: Jemi Irlanda Haikal | Penyunting: Rasidah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com