KOTAWARINGIN TIMUR – Pernyataan keras Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kotawaringin Timur (Kotim), Rimbun, yang mendukung langkah Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam memberantas peredaran narkoba, mengundang sorotan. Di tengah apresiasi terhadap pengungkapan jaringan besar narkoba oleh BNNP Kalimantan Tengah dan BNNK Kotim, muncul pertanyaan: mengapa peredaran barang haram itu justru kian meluas di daerah ini?
Rimbun menyampaikan pujiannya kepada tim gabungan BNN yang berhasil mengungkap jaringan besar dalam waktu relatif singkat. “Saya pribadi, atas nama pimpinan DPRD Kotim sangat mengapresiasi kinerja BNNP Kalteng dan BNNK Kotim yang sudah menindak beberapa orang bandar besar yang mengedarkan sabu dan obat-obatan terlarang lainnya,” ujarnya usai menghadiri rilis kasus di Kantor BNNK Kotim, Rabu (08/10/2025).
Namun, pernyataan itu terasa kontras dengan kenyataan bahwa Kotim selama ini disebut sebagai salah satu wilayah dengan tingkat kerawanan narkoba tertinggi di Kalimantan Tengah. Artinya, kerja penegakan hukum memang berjalan, tapi akar permasalahannya belum tersentuh: lemahnya pengawasan, minimnya edukasi, dan maraknya jaringan distribusi di bawah permukaan.
Rimbun menilai barang bukti yang disita menandakan besarnya jaringan yang dihadapi. Ia pun meminta penegakan hukum dilakukan seberat-beratnya tanpa pandang bulu. “Kalau melihat barang buktinya, ini sangat besar. Kami pemerintah daerah bersama masyarakat meminta agar penegakan hukum dimaksimalkan seberat-beratnya. Tidak pandang bulu siapa pun yang terlibat,” tegasnya.
Sayangnya, seruan keras itu belum dibarengi dengan langkah nyata DPRD dalam mendorong kebijakan pencegahan jangka panjang. Hingga kini, belum ada kebijakan konkret untuk memperkuat pendidikan antinarkoba di sekolah, rehabilitasi bagi pengguna, maupun pengawasan di pelabuhan kecil dan jalur tikus yang jadi pintu masuk utama peredaran narkotika.
Politikus PDI Perjuangan itu menegaskan pemerintah daerah siap bersinergi dengan aparat hukum, bahkan jika harus menjadi saksi dalam proses hukum. Ia juga menekankan pentingnya partisipasi publik. “Kami siap 1×24 jam kapan pun dibutuhkan. Kalau pengedar ini melawan, silakan, tidak ada lagi pintu ampun. Kalau sudah melawan petugas, tembak di tempat. Tidak ada toleransi bagi pengedar yang merusak generasi kita,” ujarnya dengan nada serius.
Namun, narasi “tembak di tempat” kerap menuai kritik dari kalangan pegiat HAM dan pemerhati hukum. Pendekatan represif tanpa perbaikan sistemik berpotensi menjadi solusi instan yang menimbulkan pelanggaran lain. Apalagi, penegakan hukum di lapangan sering kali tidak steril dari praktik penyalahgunaan wewenang.
Rimbun juga menyoroti bahwa peredaran narkoba di Kotim telah menjangkau pedalaman dan menyasar generasi muda. “Ini sudah merambah sampai ke pedalaman, bahkan ke anak-anak kita. Beberapa waktu lalu kami juga sudah berkoordinasi dengan BNNK dan BNNP untuk menjadikan Kotim, khususnya Sampit, keluar dari zona merah peredaran narkoba,” katanya.
Kenyataan bahwa narkoba sudah menembus hingga pelosok seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah daerah. Upaya represif memang penting, tapi tanpa penguatan ekonomi masyarakat, lapangan kerja, dan pendidikan karakter, peredaran narkoba hanya akan berpindah bentuk dan pelaku.
Rimbun menutup pernyataannya dengan menegaskan komitmen DPRD Kotim untuk mendukung penuh langkah BNN. “Saya berharap ke depan di Kotawaringin Timur ini tidak ada lagi yang berani menjual barang haram. Tidak ada ampun bagi pengedar. Kalau melawan, tembak di tempat. Itu komitmen kami bersama,” pungkasnya.
Meski tegas, pernyataan tersebut menyisakan pertanyaan mendasar: apakah DPRD dan pemerintah daerah benar-benar siap memperbaiki akar persoalan sosial yang membuat bisnis narkoba terus hidup subur di Kotim? []
Admin03
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan