SINGKAWANG – Ratusan warga memadati Pengadilan Negeri Singkawang, Rabu (14/5/2025), untuk memberikan dukungan moril kepada terdakwa HA yang menjalani sidang pleidoi. Masyarakat menilai kasus dugaan asusila terhadap anak di bawah umur yang menjerat anggota DPRD Singkawang ini sarat ketidakwajaran, terutama terkait waktu pelaporan dan proses penyidikan yang dianggap terburu-buru.
Mulyadi, salah satu warga yang hadir, menyatakan keyakinannya bahwa HA difitnah. “Pengajuan perkara ini ke pengadilan bertepatan dengan momen pemilihan DPRD Singkawang. Kami yakin ini rekayasa politik untuk menjegal HA pascakemenangan elektoral,” tegasnya. Ia mendesak majelis hakim memutus perkara berdasarkan fakta persidangan, tanpa intervensi pihak luar.
Kekuatan dukungan publik ini berbanding terbalik dengan kelemahan bukti forensik yang diungkap Dr. Handar Subhandi Baktiar, S.H., M.H., M.Tr.Adm.Kes, pakar hukum dari UPN Veteran Jakarta. Dalam kajiannya, ia menyoroti visum yang dilakukan Juli 2024 untuk kejadian dugaan Juli 2023 sebagai cacat prosedural. “Bukti biologis seperti DNA rusak seiring waktu. Indonesia tak punya batas waktu forensik jelas, berbeda dengan AS atau Inggris yang punya standar 72 jam hingga 7 hari,” paparnya.
Analisis ini sejalan dengan temuan Tim Kuasa Hukum HA pimpinan Nur Rohman. Mereka mengungkap ketidaknormalan proses hukum, mulai dari percepatan penyidikan hingga inkonsistensi fakta. “Polres Singkawang mengeluarkan surat perintah penyidikan (SP.Sidik) pada 11 Juli 2024, padahal laporan polisi (LP) baru dibuat di tanggal yang sama. Ini tidak logis,” kritik Rohman dalam konferensi pers, Jumat (16/5/2025).
Berdasarkan dokumen yang diunggah tim hukum, tuntutan jaksa menyebut korban berada di kost Gang Pepaya saat kejadian. Padahal, data Kartu Keluarga menunjukkan korban sudah di Pontianak tiga minggu setelah ibunya melahirkan pada 7 Juni 2023. “Korban diantarkan ke Pontianak bersamaan dengan masa HA yang sedang padat memenuhi agenda konstituen. Mustahil HA bisa mengakses lokasi kejadian,” tegas Rohman.
Pihak pembela juga menyoroti ketiadaan akses HA terhadap kunci gudang tempat kejadian. “Terdakwa bahkan tak memiliki kunci gerbang. Keterangan saksi korban pun berubah-ubah, meragukan validitasnya,” tambah Army, anggota tim hukum. Mereka menduga kuat keterlibatan aktor politik dalam mengkriminalisasi kliennya.
Dr. Handar dalam studinya menekankan, ketiadaan batas waktu forensik di Indonesia berpotensi melemahkan penuntutan. “Negara seperti Korea Selatan menetapkan 72 jam untuk pengambilan bukti biologis. Tanpa regulasi serupa, Indonesia rentan salah proses hukum,” ujarnya. Ia merekomendasikan revisi UU Kekerasan Seksual untuk memasukkan aturan waktu forensik maksimal 7 hari.
Dukungan warga terhadap HA terus menguat seiring transparansi sidang. “Kami hadir sebagai bentuk kontrol sosial. HA sudah diadili publik sebelum vonis keluar,” ujar seorang warga yang enggan disebut namanya. Mereka meminta majelis hakim mengabaikan tekanan politik dan fokus pada alat bukti sah.
Menanggapi hal ini, Mulyadi menegaskan, “Kami percaya institusi pengadilan akan independen. Banyak hakim berintegritas di sini.” Keyakinan serupa disampaikan Army: “Proses peradilan yang fair adalah pilar negara hukum. Putusan harus berdasarkan fakta, bukan opini viral.”
Persidangan yang dijadwalkan hingga akhir Mei 2025 ini menjadi ujian bagi penegakan hukum di tengah dinamika politik lokal. Hasilnya akan berdampak pada kepercayaan publik terhadap sistem peradilan, sekaligus menjadi tolok ukur implementasi rekomendasi pakar forensik untuk reformasi hukum nasional. []
Redaksi11