Revisi Sejarah Dianggap Tertutup dan Politis

JAKARTA – Komisi X DPR RI mengaku belum menerima informasi resmi terkait proyek penulisan ulang sejarah Indonesia yang digarap Kementerian Kebudayaan di bawah Menteri Fadli Zon. Padahal, target penyelesaiannya disebutkan sebelum peringatan HUT ke-81 RI pada 17 Agustus 2025. Ketua Komisi X Hetifah Sjaifudian menegaskan, pihaknya belum pernah berkoordinasi atau membahas detail revisi sejarah tersebut.

“Kami belum pernah bertemu langsung dengan kementerian untuk membahas apa yang akan direvisi atau prosesnya seperti apa,” kata Hetifah dalam rapat kerja di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (19/05/2025). Pernyataan senada disampaikan Anggota Komisi X Fraksi PDIP Mercy Barends. Ia mengaku baru mengetahui rencana ini melalui pemberitaan media dan unggahan di platform sosial. “Tak ada dokumen resmi yang kami terima. Jadi, kami belum bisa memberikan tanggapan mendalam,” ujarnya.

Ketiadaan komunikasi ini memicu kekhawatiran sejumlah anggota dewan. My Esti Wijayanti, Anggota Komisi X Fraksi PDIP, mendesak Ketua Komisi X segera memanggil Fadli Zon untuk klarifikasi. “Ini menyangkut sejarah yang harus sesuai fakta. Diskusi terbuka diperlukan agar tidak menimbulkan kegaduhan,” tegas Esti.

Sebelumnya, Fadli Zon menyatakan proyek yang melibatkan lebih dari 100 sejarawan dari berbagai perguruan tinggi ini ditargetkan rampung Agustus 2025. “Penulisan sejarah resmi terakhir ada di buku Indonesia Dalam Arus Sejarah (2012). Kini, ada temuan baru dari era prasejarah hingga periode pemerintahan sebelumnya yang perlu ditambahkan,” jelas Fadli di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (05/05/2025).

Namun, minimnya transparansi menuai kritik dari Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI). Mereka menilai revisi sejarah berisiko dimanipulasi untuk kepentingan politik tertentu. Mercy Barends mengakui, tanpa dokumen resmi, Komisi X kesulitan menengahi polemik ini. “Kami hanya bisa memberikan insight berdasarkan informasi terbatas,” tambahnya.

Proyek ini juga mengundang pertanyaan tentang urgensi dan metodologi yang digunakan. Fadli menegaskan, para sejarawan yang terlibat memiliki kompetensi mumpuni. Namun, My Esti menekankan, sejarah harus ditulis berdasarkan fakta empiris, bukan narasi subjektif. “Tidak boleh ada muatan yang memecah persatuan,” imbuhnya.

Di tengah vakumnya dialog resmi, publik dihadapkan pada dua isu krusial: pertama, apakah revisi sejarah akan mengoreksi kesalahan fakta historis atau sekadar menambah versi baru; kedua, sejauh mana keterlibatan akademisi independen dalam proses tersebut. Hetifah berjanji akan mengagendakan pertemuan dengan Fadli Zon untuk memastikan proyek ini berjalan transparan.

“Sejarah adalah fondasi identitas bangsa. Perubahannya harus melibatkan banyak pihak, termasuk DPR sebagai representasi rakyat,” pungkas Hetifah. []

Redaksi11

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com
X