JAKARTA – Pemerintah Indonesia tampak bimbang menyikapi permintaan Malaysia untuk mengimpor beras, meski mengklaim stok dalam negeri mencapai 3,7 juta ton—tertinggi sejak 1969. Penolakan awal Menteri Pertanian Amran Sulaiman terhadap permohonan Menteri Pertanian Malaysia YB Datuk Seri Haji Mohamad bin Sabu pada 22 April 2025 berubah 23 hari kemudian, dengan sinyal kesiapan ekspor 2.000 ton beras per bulan.
“Tadi (mentan Malaysia) menanyakan, ‘Apa bisa kami impor beras dari Indonesia?’. Saya katakan, untuk sementara kami menjaga stok dulu,” ucap Amran di Jakarta Selatan, Selasa (22/04/2025). Namun, Wakil Menteri Pertanian Sudaryono pada Kamis (15/05/2025) menyatakan sebaliknya: “Manakala Presiden (Prabowo Subianto) sudah memberikan perintah, maka kita siap.”
Kebijakan ini memantik pro-kontra. Menteri Koordinator Pangan Zulkifli Hasan mengaku sedang menumpuk stok beras, sambil mengutip instruksi Presiden Prabowo untuk “membantu tetangga yang kekurangan”. Di sisi lain, analis kebijakan pangan Yusuf Wibisono menilai ekspor beras bukan solusi tepat. “Stok melimpah saat ini berasal dari sisa impor 2024 sebesar 4,52 juta ton—tertinggi dalam 25 tahun. Solusinya operasi pasar, bukan ekspor,” tegasnya.
Data Kementerian Pertanian menunjukkan produksi beras nasional cenderung stagnan, bahkan turun dari 31,31 juta ton (2019) menjadi 30,37 juta ton (2024). Meski Bulog mencatat stok 3,7 juta ton, Yusuf menegaskan angka ini belum mencerminkan swasembada sejati. “Ini jebakan swasembada semu. Produksi bisa turun lagi seiring akhir musim hujan,” ujarnya.
Dosen UGM Atris Suyantohadi mengapresiasi peningkatan produksi berkat alokasi program bantuan pertanian sejak 2023, tetapi mengingatkan: “Ekspor harus mengacu data surplus riil, bukan potensi. Transparansi stok dan stabilitas harga lokal wajib jadi prioritas.” Analis Syaiful Bahari menambahkan, ekspor 2.000 ton ke Malaysia hanya simbolis. “Kebutuhan Malaysia 250.000 ton per bulan, dipenuhi Vietnam, India, dan Thailand. Harga beras internasional pun lebih murah daripada HPP Indonesia,” paparnya.
Eliza Mardian dari Core Indonesia mengingatkan risiko psikologis pasar. “Berita ekspor bisa picu kenaikan harga dalam negeri. Ekspor harus terukur, jangan sampai ganggu stok domestik,” pesannya. Ia juga memperingatkan bahaya menumpuk beras di gudang Bulog: “Kualitas bisa turun, berujang pemborosan anggaran.”
Di tengah polemik, Prabowo Subianto disebut ingin menjadikan ekspor sebagai bentuk diplomasi. Namun, Syaiful menekankan, swasembada berkelanjutan hanya bisa tercapai jika produksi gabah kering panen (GKP) naik dari rata-rata 5,5 ton/hektare menjadi 7 ton/hektare. “India dan Vietnam ekspor karena cadangan mereka 20-25% dari konsumsi nasional. Indonesia baru 10%,” katanya.
Dengan cuaca tidak menentu dan ancaman alih fungsi lahan, langkah pemerintah ke depan dinilai krusial. “Jangan puas diri. Fokus pada peningkatan produktivitas dan perlindungan lahan pertanian,” pungkas Yusuf. []
Redaksi11