JAKARTA – Jaksa penuntut umum mengungkap adanya kode suap kepada hakim terkait perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Eks Ketua PN Jaksel, Muhammad Arif Nuryanta, disebut menyerahkan “uang baca berkas” kepada majelis hakim yang menangani kasus korupsi minyak goreng.
Jaksa menyatakan, pada Mei 2024, seorang pengacara bernama Aryanto memberikan uang senilai US$ 500 ribu atau setara Rp 8 miliar kepada Arif Nuryanta yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat. Penyerahan dilakukan melalui Wahyu Gunawan, Panitera Muda PN Jakarta Utara sekaligus orang kepercayaan Arif.
Pada awal Juni 2024, ketika persidangan perkara korupsi korporasi minyak goreng berlangsung, Arif memanggil majelis hakim Djuyamto dan Agam Syarief Baharudin ke ruang kerjanya. “Terdakwa Muhammad Arif Nuryanta mengatakan ‘ada titipan dari sebelah untuk baca berkas’ sambil menyerahkan sebuah goodie bag yang berisi uang kepada Djuyamto,” ujar jaksa saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Rabu, 20 Agustus 2025.
Djuyamto bertanya, ‘apa itu pak kok belum belum sudah ada?’. Arif menjawab, ‘sudah bawa saja, uang ini untuk majelis hakim yang menangani perkara korupsi korporasi minyak goreng’. Kedua hakim yang kini nonaktif tersebut kemudian kembali ke ruang kerja masing-masing. Agam meminta uang itu dibagi, dan Djuyamto menyetujui.
Selanjutnya, Djuyamto memanggil Ali Muhtarom, hakim anggota perkara, ke ruang kerja PN Jakarta Pusat. Agam membuka goodie bag berisi uang pecahan US$ 100 dan Sing$ 1.000 senilai Rp 3,9 miliar. Uang itu dibagi, Ali Muhtarom dan Agam masing-masing menerima Rp 1,1 miliar, sementara Djuyamto sebagai ketua majelis menerima Rp 1,8 miliar. “Setelah pembagian ‘uang baca berkas’ tersebut, Djuyamto menyampaikan kepada Agam Syarief Baharudin dan Ali Muhtarom bahwa perkara korupsi korporasi minyak goreng agar dibantu karena menjadi atensi dari terdakwa Muhammad Arif Nuryanta,” kata jaksa.
Uang tersebut merupakan sebagian dari total Rp 40 miliar yang diterima hakim dan panitera. Jaksa menjelaskan penerimaan dilakukan dalam dua tahap, pertama US$ 500 ribu dan kedua US$ 2 juta, diberikan kepada Arif, Wahyu Gunawan, Djuyamto, Agam, dan Ali Muhtarom. Pemberian diduga bertujuan memengaruhi putusan agar perkara CPO diputus lepas atau onslag van rechtsvervolging.
Arif Nuryanta didakwa melanggar berbagai pasal Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jaksa menegaskan, kasus ini melibatkan advokat terdakwa dari Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.[]
Admin05
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan