SAMARINDA – Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) menegaskan komitmennya dalam mewujudkan pemerintahan yang transparan, responsif, dan berbasis aturan hukum. Hal itu ditegaskan langsung oleh Sekretaris Daerah Kaltim, Sri Wahyuni, saat merespons aksi unjuk rasa mahasiswa yang tergabung dalam aliansi Gerakan Kalimantan Timur Melawan Diam, Selasa (10/06/2025).
Aksi damai tersebut menyoroti keterlambatan realisasi delapan program unggulan yang dijanjikan akan rampung dalam 100 hari pertama masa kepemimpinan Gubernur dan Wakil Gubernur Kaltim. Namun di balik sorotan kritis itu, Sri Wahyuni memandang penting untuk memberikan pemahaman menyeluruh kepada publik terkait tahapan konstitusional yang harus dilalui pemerintah sebelum sebuah program dapat dieksekusi.
“Program kerja 100 hari tidak bisa serta merta langsung dieksekusi tanpa dasar hukum yang kuat. Semua program harus sesuai dengan RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) yang wajib dilaporkan dan dievaluasi oleh Kementerian Dalam Negeri,” jelasnya di hadapan mahasiswa.
Sri Wahyuni menerangkan bahwa Pemprov Kaltim telah memulai tahap awal implementasi program “Gratis Pol” melalui pendekatan bertahap. Salah satunya adalah penandatanganan nota kesepahaman secara serentak dengan berbagai mitra kerja di Convention Hall Sempaja, Samarinda. Langkah ini dinilai sebagai pondasi hukum yang mutlak diperlukan agar program tidak menjadi kebijakan yang serampangan.
Ia pun menegaskan bahwa pemerintah daerah tidak ingin terburu-buru hanya untuk mengejar target waktu, karena setiap kebijakan publik harus mengedepankan legalitas, akuntabilitas, dan prinsip kehati-hatian.
“Kami menyarankan mahasiswa agar melakukan kajian mendalam dan berdialog juga dengan pemerintah kabupaten/kota terkait isu lintas daerah. Sebab tidak semua tuntutan dapat dijawab langsung oleh pemerintah provinsi,” ujarnya.
Sri Wahyuni menekankan bahwa pembagian kewenangan pemerintahan antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota merupakan bagian dari sistem administrasi yang diatur undang-undang. Jika prinsip kewenangan itu dilanggar, potensi pelanggaran hukum tidak bisa dihindarkan.
“Melanggar kewenangan administratif dapat berujung pada pelanggaran hukum,” tambahnya.
Dalam dialog terbuka, ia juga mengingatkan pentingnya peran mahasiswa sebagai elemen kontrol sosial yang konstruktif, sekaligus mengajak semua pihak menjaga etika demokrasi.
“Kami terbuka terhadap kritik dan masukan. Tapi semua pihak harus bersama-sama menjaga agar perjuangan ini tetap dalam koridor hukum dan etika demokrasi,” tegasnya.
Langkah Pemprov Kaltim yang membuka ruang diskusi terbuka dengan mahasiswa menjadi contoh penerapan tata kelola pemerintahan yang inklusif, di mana transparansi dan partisipasi publik berjalan seiring dengan kepatuhan terhadap regulasi. []
Penulis: Rifky Irlika Akbar | Penyunting: Rasidah | ADV Diskominfo Kaltim