KUTAI KARTANEGARA – Tuntutan ganti rugi lahan untuk proyek Bendungan Marangkayu kembali mencuat setelah ratusan warga Desa Sebuntal dan Desa Bunga Putih, Kecamatan Muarangkayu, mendatangi Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kutai Kartanegara (Kukar), Rabu (09/07/2025). Sebanyak 102 warga hadir menuntut kepastian pembayaran yang hingga kini belum terselesaikan, meski sebagian dari mereka telah kehilangan lahan produktif sejak 17 tahun lalu.
Bagi warga, lahan pertanian bukan sekadar aset, melainkan sumber utama penghidupan. Hilangnya lahan akibat pembangunan bendungan membuat mereka terjebak dalam ketidakpastian. Harapan untuk mendapat kompensasi yang layak menjadi satu-satunya jalan agar mereka bisa kembali menata ekonomi keluarga.
DPRD Kukar merespons dengan menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) selama dua hari. Pertemuan pertama dipimpin Komisi I yang beranggotakan Desman Minang Endianto, HM Jamhari, Erwin, dan Sugeng Hariadi. Pada hari kedua, rapat dipimpin langsung oleh Ketua DPRD Kukar, Ahmad Yani. Forum ini menjadi ruang bagi warga untuk menyampaikan penderitaan yang mereka alami sekaligus menuntut solusi konkret.
Anggota Komisi I, HM Jamhari, menegaskan perlunya keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat. Ia menilai persoalan ini tidak rumit, tetapi berlarut karena lemahnya ketegasan instansi terkait. “Karena saya lihat apa yang disampaikan oleh warga masyarakat dan mantan-mantan pejabat mulai dari tingkat desa sampai camat sudah benar semua,” ucapnya.
Ia menyoroti klaim Hak Guna Usaha (HGU) PT Perkebunan Nusantara (PTPN) yang muncul pada tahap pembayaran ganti rugi ketiga. Menurutnya, keberadaan HGU itu tidak relevan karena lahan tersebut selama ini digarap oleh masyarakat, bukan perusahaan. “Persoalan ini sudah terang benderang kok, BPN segera cabut HGU PTPN selesai. Dasarnya apa? Di sana tidak ada aktivitas sama sekali sebagai perusahaan pemilik HGU. Yang ada tanam tumbuh karet dan lain itu punya warga, itu jelas sudah,” tegas Jamhari.
Komisi I mendesak Balai Wilayah Sungai (BWS) bersama Badan Pertanahan Nasional (BPN) segera mengambil langkah nyata. Bagi warga, perjuangan ini bukan sekadar tentang kompensasi uang, melainkan juga tentang martabat dan keadilan. “Bayangkan 102 jiwa warga sampai rela tidur di gedung wakil rakyat 1 malam, mereka tinggalkan anak istrinya bahkan pekerjaan dan usahanya. Ini bukan semata-mata soal uang, tapi soal kemanusiaan dan penderitaan yang selama ini warga rasakan,” tambah Jamhari.
DPRD Kukar menegaskan komitmennya untuk terus mengawal persoalan ini hingga hak warga benar-benar dipenuhi, agar pembangunan proyek strategis nasional tidak lagi menimbulkan luka sosial bagi masyarakat.[] ADVERTORIAL
Penulis: Muhammad Ihsan | Penyunting: Rasidah
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan