KUTAI KARTANEGARA – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) mendesak PT Madani Citra Mentari (MCM) segera menuntaskan persoalan kesepakatan dengan Kelompok Tani Sumber Rezeki, Desa Long Beleh Haloq, Kecamatan Kembang Janggut.
Kesepakatan antara perusahaan dan kelompok tani yang dibuat pada 2008 diketahui belum dijalankan hingga kini. Persoalan tersebut kembali mencuat setelah manajemen baru PT MCM beroperasi cukup lama tanpa penyelesaian.
Anggota Komisi I DPRD Kukar, Erwin, menegaskan lembaganya menginginkan penyelesaian konkret atas persoalan lama yang kini kembali diangkat kelompok tani. “Semua pihak, baik perusahaan maupun kelompok tani, kami berikan tenggat waktu hingga Senin depan untuk memberikan laporan resmi kepada DPRD. Kami ingin melihat sejauh mana persoalan ini dapat diselesaikan,” ujarnya seusai rapat dengar pendapat (RDP) lanjutan di Ruang Rapat Komisi I DPRD Kukar, Tenggarong, Senin (06/10/2025).
Menurut Erwin, persoalan ini muncul setelah pergantian manajemen PT MCM pada 2017. Manajemen baru mengaku tidak mengetahui kesepakatan yang pernah dibuat oleh manajemen lama dengan kelompok tani pada 2008. “Manajemen MCM yang sekarang beroperasi mengaku tidak tahu-menahu soal perjanjian sebelumnya. Mereka berasumsi bahwa tanggung jawab atas kesepakatan lama sudah tidak lagi berlaku setelah pergantian pemilik,” tuturnya.
Namun, DPRD Kukar menegaskan bahwa pergantian manajemen tidak menghapus kewajiban perusahaan terhadap masyarakat. “Kesepakatan tetap harus dihormati. Kami ingin agar hal ini diselesaikan secara terbuka dan adil,” tegasnya.
Erwin juga mengungkapkan bahwa kelompok tani sempat pasif selama bertahun-tahun. Baru setelah manajemen baru beroperasi cukup lama, mereka kembali memperjuangkan hak-haknya. “Selama beberapa tahun pihak kelompok tani mengakui memang tidak menyuarakan masalah ini. Sekarang, ketika situasi sudah berubah, mereka ingin hak-hak mereka diakui kembali,” jelasnya.
Dari hasil kajian DPRD, Kelompok Tani Sumber Rezeki memiliki dokumen legalitas lengkap mulai dari surat keputusan (SK) desa hingga kecamatan. Mereka menuntut agar kesepakatan lama diakui secara tertulis, serta perusahaan membuka ruang dialog membahas bentuk kompensasi.
Kelompok tani juga mengusulkan adanya royalti atau kompensasi karena sebagian masyarakat kehilangan sumber penghasilan akibat aktivitas perusahaan. Kompensasi dapat berupa ganti rugi lahan, ganti rugi tanaman tumbuh, atau bentuk lain yang disepakati bersama.
Luas lahan yang diklaim kelompok tani mencapai sekitar 5.000 hektare, sementara perusahaan mengelola sekitar 2.000 hektare yang kini masih dalam tahap perencanaan eksplorasi dan eksploitasi tambang.
Sebagai tindak lanjut, DPRD meminta camat, kepala desa, dan kelompok tani melakukan inventarisasi lahan dalam waktu satu minggu untuk memastikan tidak ada tumpang tindih klaim. “Kami ingin agar seluruh pihak aktif berkoordinasi. Harapan kami, minggu depan sudah ada langkah konkret dan kesepakatan baru antara perusahaan dan masyarakat,” tutup Erwin. [] ADVERTORIAL
Penulis: Jemi Irlanda Haikal | Penyunting: Rasidah
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan