SAMARINDA – Proses penerimaan murid baru tahun ajaran 2025–2026 untuk tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Kalimantan Timur telah menyelesaikan tahap pendaftaran. Namun, di balik kelancaran administratif, persoalan akses pendidikan yang merata kembali mencuat, terutama di wilayah yang minim fasilitas pendidikan menengah.
Darlis Pattalogi, Sekretaris Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalimantan Timur, menilai bahwa mekanisme penerimaan melalui empat jalur dalam Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) masih menyisakan ketidakpuasan di kalangan masyarakat. Ia menyebut sejumlah laporan dari orang tua siswa yang merasa tidak mendapatkan keadilan dalam proses seleksi.
“Ada beberapa yang perlu kita evaluasi menyangkut SPMB tahun 2025 ini, yakni menemukan banyak laporan menjadi pertanyaan publik terhadap 4 jalur itu,” kata Darlis Jumat (04/07/2025) di Samarinda.
Kritik paling tajam diarahkan pada jalur domisili. Banyak orang tua mendapati anak mereka tidak diterima di sekolah terdekat hanya karena kuota kelas telah penuh. Kebijakan berdasarkan Data Pokok Pendidikan (Dapodik) yang menetapkan jumlah maksimal 36 siswa per kelas dinilai terlalu kaku dan tidak mempertimbangkan kebutuhan lokal.
“Kuota untuk per kelasnya tidak fleksibel, karena per kelas dipatok 36 siswa sedangkan ada saja yang tercecer dan begitu ada murid domisilinya yang sangat dekat dengan sekolah itu tidak bisa lagi masuk,” ujarnya.
Darlis menekankan bahwa kekurangan ruang belajar adalah persoalan mendasar yang belum terselesaikan. Ia mengimbau agar pemerintah segera melakukan proyeksi kebutuhan ruang belajar di setiap daerah, menyesuaikan dengan jumlah lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) tiap tahunnya.
“Patut dievaluasi bahwa tingkat kebutuhan ruang belajar memang masih sangat tidak memadai,” tegasnya.
Lebih jauh, ia menyoroti minimnya keberadaan SMA/SMK negeri di daerah seperti Kutai Timur, Kutai Barat, dan Balikpapan. Menurutnya, ini memaksa banyak siswa untuk menempuh pendidikan di luar daerah, yang pada akhirnya membebani keluarga dan mengganggu keberlanjutan pendidikan anak.
“Kabupaten Kutim, Kubar dan Balikpapan memang di situ sangat susah sekolah SMA, ini harus dicarikan solusi,” pungkasnya.
Pernyataan Darlis membuka ruang diskusi mengenai urgensi penguatan infrastruktur pendidikan dan pemetaan kebutuhan daerah, agar setiap anak mendapatkan hak yang sama dalam memperoleh pendidikan berkualitas tanpa harus berpindah tempat tinggal.[] ADVERTORIAL
Penulis: Guntur Riyadi | Penyunting: Rasidah
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan