MESKI progres jembatan secara fisik belum tampak utuh berdiri, harapan masyarakat akan manfaat yang akan dibawa oleh jembatan ini terus menguat. Sebab jembatan Sebulu bukan hanya sekadar sarana penghubung antarwilayah, melainkan simbol konektivitas ekonomi dan sosial yang lebih luas.
Menurut Samsul Bahri, seorang pedagang bahan bangunan di Sebulu Ilir, keberadaan jembatan itu nantinya akan sangat membantu akses distribusi barang. “Biasanya kalau musim hujan, jalan poros sering becek dan perahu sulit melintas. Kalau ada jembatan, truk bisa langsung antar barang ke toko saya,” ujarnya sambil menunjukkan dermaga kecil di belakang tokonya.
Hal serupa diungkapkan oleh Siti Nurjanah, warga Sebulu Ulu yang sehari-hari menjual hasil pertanian. “Kami para petani bisa lebih cepat kirim hasil panen ke pasar. Tidak perlu lagi sewa kelotok yang kadang mahal kalau bahan bakar naik,” katanya. Menurutnya, selama ini petani menghabiskan banyak biaya tambahan hanya untuk pengiriman hasil panen karena akses sungai menjadi satu-satunya jalur logistik.
Manfaat jangka panjang yang dibayangkan warga pun tidak sebatas itu. Banyak warga berharap daerah mereka akan lebih dilirik investor, baik untuk pertanian skala besar, sektor perdagangan, hingga kemungkinan pembukaan kawasan industri kecil yang selama ini sulit dijangkau.
Namun tentu, harapan tersebut tidak bisa dilepaskan dari bagaimana proyek ini diselesaikan secara menyeluruh, bukan hanya secara fisik, tapi juga manajemen dampak sosial yang ditimbulkan selama masa konstruksi.
SOSIAL EKONOMI
Proyek pembangunan berskala besar selalu meninggalkan jejak yang kompleks bagi masyarakat sekitar. Pembangunan Jembatan Sebulu pun tak lepas dari dinamika tersebut.
Selama pengerjaan proyek, beberapa warung dan lahan pertanian di sekitar titik konstruksi harus direlokasi. Meski sebagian besar warga menerima ganti rugi, namun prosesnya tidak selalu mulus.
“Awalnya kami dijanjikan akan ada sosialisasi menyeluruh, tapi tiba-tiba tanah saya masuk tapak jembatan,” ujar Mansur, warga RT 08 Sebulu Ilir. Ia mengaku telah menerima ganti rugi, tapi menurutnya jumlahnya tidak sebanding dengan nilai produktivitas kebunnya yang sebelumnya ditanami lada dan singkong.
Hal lain yang menjadi keluhan adalah dampak terhadap lalu lintas sungai. Beberapa nelayan tradisional mengaku aktivitas mereka terganggu akibat adanya ponton besar dan alat berat yang lalu-lalang di perairan.
“Kalau malam gelap, lampu kerja proyek kadang tidak cukup terang, kami khawatir menabrak tiang pancang atau perahu angkut,” ujar Pak Jaya, nelayan di sekitar Sungai Mahakam. Ia berharap pihak pelaksana proyek memberi jalur khusus atau penerangan tambahan di titik tertentu agar keselamatan warga tetap terjaga.
Kendati demikian, ada juga sisi positif yang dirasakan langsung oleh warga. Beberapa pemuda setempat mendapat pekerjaan sementara sebagai buruh harian di proyek tersebut.
“Lumayan, bisa bantu keluarga, walau cuma kontrak harian,” kata Andi, pemuda 22 tahun yang sempat bekerja membantu penggalian fondasi. Meski tidak berstatus karyawan tetap, pengalaman tersebut memberi tambahan pendapatan dan juga membuka wawasan tentang pekerjaan konstruksi bagi warga lokal.
PENGAWASAN DAN KOMITMEN
Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara menyadari pentingnya pengawasan yang ketat agar proyek ini selesai tepat waktu dan sesuai kualitas yang direncanakan. Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kukar, Wiyono, menyebutkan bahwa proyek ini masuk dalam skala prioritas daerah dan menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan pembangunan infrastruktur Kukar dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2021–2026.
“Progres fisik memang belum seratus persen, tapi kita jaga agar target tercapai. Kontraktor juga kita minta transparan dan kooperatif dengan masyarakat,” tegas Wiyono dalam keterangannya kepada wartawan.
Menurutnya, selama proyek berjalan, pihaknya sudah melakukan tujuh kali inspeksi lapangan secara resmi dan beberapa monitoring tidak langsung melalui laporan harian pelaksana. Ia mengakui masih ada beberapa kendala kecil yang bersifat teknis, namun ia memastikan semuanya dalam jalur penyelesaian.
Menjawab keluhan warga terkait dampak sosial, Wiyono menyebut pihaknya sedang menyiapkan dokumen analisis tambahan pasca-AMDAL (Analisis Dampak Lingkungan) untuk melihat ulang aspek sosial ekonomi. “Kami ingin pastikan tidak ada yang dirugikan. Kalau ada dampak yang tidak tercatat sebelumnya, kami akan intervensi dengan skema baru,” ujarnya.
Pemerintah juga disebut sedang menyiapkan Peraturan Bupati (Perbup) terkait pengelolaan kawasan sekitar jembatan pasca selesai, agar fungsi jembatan tidak hanya sebagai infrastruktur konektivitas, tetapi juga menjadi pemicu ekonomi lokal.
PARTISIPASI PUBLIK
Salah satu aspek yang menjadi sorotan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal adalah kurangnya keterlibatan publik dalam tahap perencanaan dan pemantauan proyek. Hal ini diungkapkan oleh Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Mahakam Hijau, Sugiarto.
“Warga seperti hanya dijadikan objek, bukan subjek pembangunan. Kami minta ke depan ada forum komunikasi rutin antara pelaksana proyek, pemerintah, dan masyarakat,” ujarnya.
Menurutnya, proyek sebesar Jembatan Sebulu seharusnya bisa menjadi model pembangunan partisipatif yang melibatkan warga sejak tahap awal. Ia menambahkan bahwa informasi terkait progres dan kendala proyek pun sebaiknya dipublikasikan secara rutin, misalnya melalui papan informasi di lokasi proyek atau portal daring resmi.
Tuntutan ini bukan tanpa alasan. Dalam pengalaman sebelumnya, beberapa proyek besar di Kukar sempat mengalami pembengkakan anggaran atau molor jadwal karena kurangnya transparansi dan pengawasan publik. Sugiarto menegaskan bahwa pembangunan infrastruktur publik semestinya menjadi arena dialog terbuka antara pemerintah, pelaksana, dan masyarakat.
ASA YANG TAK PERNAH PADAM
Meski jalan menuju penyelesaian proyek ini belum sepenuhnya mulus, semangat dan harapan masyarakat tetap menyala. Sejumlah pihak berharap agar proyek ini tidak hanya selesai tepat waktu, tetapi juga benar-benar membawa perubahan positif bagi kehidupan warga.
Dari balik warung kopi sederhana di tepian Mahakam, suara harapan itu selalu terdengar. “Saya ingin anak saya nanti bisa kuliah di Samarinda, dan kami bisa jenguk dengan mudah lewat jembatan ini,” kata Syamsiah, ibu dua anak yang sehari-hari berjualan nasi kuning.
Ia bukan satu-satunya yang menyimpan harapan semacam itu. Dalam setiap kayu tiang yang ditegakkan, dalam setiap kabel baja yang direntangkan, ada impian banyak orang yang ingin bergerak maju bersama pembangunan ini.
POTENSI EKONOMI BARU
Seiring dengan pembangunan fisik jembatan yang terus berjalan, pengaruhnya terhadap lanskap wilayah juga mulai terlihat. Di beberapa titik, terutama di sisi Sebulu Ilir dan Sebulu Ulu, harga tanah mulai mengalami kenaikan. Menurut data dari salah satu agen properti lokal, kenaikan harga lahan di radius 2 kilometer dari lokasi proyek telah meningkat hingga 30 persen dalam dua tahun terakhir.
“Dulu tanah di sekitar kampung itu dijual Rp20 ribu per meter persegi. Sekarang sudah tembus Rp50–70 ribu,” ungkap Zainal, agen properti yang sudah beroperasi sejak 2010 di wilayah Sebulu.
Ia menyebutkan bahwa banyak pihak luar, terutama dari Samarinda dan Tenggarong, mulai membeli lahan di sekitar jalur akses jembatan. “Ada yang ingin buat gudang logistik, SPBU, sampai rencana pembangunan kawasan komersial kecil,” tambahnya.
Hal ini tentu membawa potensi ekonomi baru bagi warga sekitar. Mereka tidak hanya menjadi penonton pembangunan, melainkan bisa ikut menjadi pelaku ekonomi lokal. Misalnya, keluarga Salmah di RT 05 Sebulu Ulu kini tengah merintis warung makan sederhana untuk buruh proyek dan pengendara yang melintas. “Sebelum ada proyek, sepi. Sekarang ramai terus, apalagi siang,” ujarnya.
Namun di balik peluang ekonomi ini, juga tersimpan kekhawatiran dari sebagian warga. Beberapa tokoh masyarakat mengkhawatirkan terjadinya ketimpangan atau alih fungsi lahan yang tidak terkendali jika tidak diatur sejak awal.
“Kalau tanah-tanah dijual semua ke investor luar, nanti warga lokal cuma jadi penonton. Kami minta pemerintah batasi atau arahkan rencana tata ruangnya,” kata Adi Nugroho, Ketua RT 03 Sebulu Ilir, yang juga pernah menjadi anggota forum musyawarah desa.
Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur tidak hanya tentang beton dan baja, tapi juga menyentuh urusan tata kelola ruang dan keadilan ekonomi jangka panjang.
DI BALIK SUARA MESIN DAN DEBU
Di balik kemegahan rencana proyek ini, terdapat ratusan pekerja yang menjadi garda terdepan dalam pelaksanaan teknis harian. Salah satunya adalah Ridwan, operator alat berat asal Bontang, yang sudah delapan bulan bekerja di proyek Jembatan Sebulu.
“Setiap hari kami kerja mulai jam tujuh pagi sampai jam lima sore. Kadang lembur kalau ada komponen yang harus segera selesai,” ujarnya sambil mengelap wajah yang berdebu.
Ridwan mengatakan bahwa proyek ini cukup menantang, terutama karena faktor medan. “Kontur tanah di sisi Ulu agak labil, jadi butuh pekerjaan ekstra untuk perkuatan pondasi,” jelasnya.
Meski demikian, ia merasa bangga bisa terlibat dalam proyek ini. “Mungkin lima tahun ke depan, saya bisa bilang ke anak saya: Bapak bantu bangun jembatan ini,” katanya dengan senyum.
Bagi pekerja lokal seperti Hasan, warga asli Sebulu, kehadiran proyek ini membawa peluang pekerjaan yang sebelumnya sulit ia dapatkan. “Dulu saya buruh panen sawit. Sekarang bisa kerja ngaduk semen di proyek. Lebih berat, tapi lebih menjanjikan,” kata Hasan yang kini bekerja sebagai tenaga kasar.
Namun, ia mengaku belum ada pelatihan resmi dari kontraktor bagi tenaga lokal. “Kalau bisa, ke depan ada pelatihan biar kami tidak cuma buruh kasar, tapi juga bisa naik jadi teknisi atau mandor,” harapnya.
Pernyataan ini menggambarkan pentingnya integrasi program pelatihan dalam proyek-proyek besar agar manfaat ekonomi tidak berhenti di lapisan paling bawah, tetapi bisa memberdayakan warga lokal secara berkelanjutan.
KONEKSI ANTAR-WILAYAH
Jembatan Sebulu bukan hanya akan menjadi penghubung antar-dua desa di Kecamatan Sebulu. Lebih jauh dari itu, jembatan ini akan membuka konektivitas antara kawasan-kawasan strategis di Kutai Kartanegara bagian utara dengan pusat kabupaten di Tenggarong dan kota besar seperti Samarinda dan Balikpapan.
Menurut analisis dari Balitbangda Kukar, jembatan ini akan memotong waktu tempuh logistik hingga 40% untuk komoditas dari kawasan Muara Kaman, Kenohan, dan sekitarnya menuju jalur Mahakam Trans Kalimantan. Ini berarti biaya distribusi akan lebih rendah dan jalur perniagaan bisa semakin efisien.
“Selama ini distribusi barang dari kawasan hulu Mahakam masih bergantung pada jalur sungai dan jalan darat memutar. Setelah jembatan selesai, jalur distribusi bisa lebih cepat dan aman,” ujar Bambang Heriyanto, analis transportasi dari Universitas Mulawarman.
Menurutnya, pembangunan jembatan ini juga menjadi bagian penting dari upaya mendukung pengembangan IKN (Ibu Kota Nusantara). “Salah satu titik logistik penunjang IKN ada di Kukar. Kalau akses lebih baik, Kukar bisa menjadi penyangga ekonomi yang lebih kompetitif,” tambahnya.
Oleh karena itu, Jembatan Sebulu memiliki nilai strategis yang lebih luas dari sekadar infrastruktur lokal. Ia berpotensi menjadi simpul ekonomi yang akan menghidupkan banyak sektor — dari pertanian, perikanan, hingga perdagangan dan transportasi logistik antar-provinsi.
SOROTAN LINGKUNGAN
Meski berbagai manfaat pembangunan jembatan ini terus digemakan, sejumlah pegiat lingkungan memberikan catatan penting. Sungai Mahakam, yang menjadi lokasi jembatan, merupakan ekosistem vital bagi berbagai spesies air tawar, termasuk pesut Mahakam yang kini terancam punah.
Menurut Yayasan Konservasi Mahakam (YKM), proyek pembangunan jembatan perlu memperhatikan keberlangsungan spesies ini. “Kami khawatir ada gangguan habitat akibat suara mesin dan aktivitas pengerukan di sekitar sungai,” ujar Reni Oktaviani, peneliti Yayasan Konservasi Mahakam YKM.
Ia menyebutkan bahwa dalam beberapa pengamatan lapangan, terdapat perubahan pola migrasi ikan dan turunnya populasi udang galah di sekitar area proyek. Hal ini tentu berdampak pada nelayan tradisional.
“Kami tidak menolak pembangunan, tapi minta ada evaluasi lingkungan yang lebih menyeluruh, dan jika perlu, pemindahan habitat pesut ke kawasan yang lebih aman sebelum proyek berlanjut ke tahap atas jembatan,” ujarnya.
Menanggapi hal ini, pihak pelaksana proyek menyatakan telah memiliki dokumen UKL-UPL (Upaya Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan) dan berkoordinasi dengan Dinas Lingkungan Hidup Kukar. “Kami juga menggunakan teknologi low noise untuk pekerjaan malam hari agar tidak mengganggu fauna air,” ujar Iwan Rinaldi, Humas PT Adidaya Karya Mandiri, pelaksana utama proyek.
Namun, para aktivis lingkungan tetap meminta agar keterlibatan ilmuwan dan pengawasan publik diperkuat dalam proses monitoring dampak proyek ini.
DIUJI WAKTU
Jembatan Sebulu telah menjadi impian lama warga Kecamatan Sebulu dan sekitarnya sejak lebih dari dua dekade lalu. Banyak generasi tumbuh besar dengan mendengar wacana pembangunan jembatan ini, namun hanya pada dekade terakhir inilah proyek ini mulai benar-benar menyentuh realisasi.
“Dulu waktu saya SMA, katanya jembatan ini mau dibangun. Sekarang saya sudah punya anak, baru terlihat tiangnya,” kenang Pak Amin, warga Sebulu Ulu, tertawa kecil. “Tapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali,” tambahnya.
Kini, komitmen dari semua pihak diuji oleh waktu. Pemerintah dituntut konsisten menjaga jadwal dan kualitas pengerjaan. Pelaksana proyek harus transparan dan inklusif. Masyarakat harus diberdayakan dan tidak terpinggirkan. Dan yang paling penting, harapan tidak boleh dibiarkan berubah menjadi kekecewaan.
“Jembatan ini akan jadi warisan. Bukan cuma warisan fisik, tapi juga warisan cara kita membangun daerah — apakah adil, ramah lingkungan, dan memberdayakan rakyat,” ujar Rudi Hartono, tokoh muda Sebulu.
Dalam perjalanan membangun jembatan ini, kita sedang menulis sejarah — bukan hanya sejarah infrastruktur, tapi juga sejarah peradaban di wilayah Mahakam. []
Ovelia Carmelinda