JENEWA – Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendesak negara-negara anggota mengadopsi Perjanjian Pandemi pada Majelis Kesehatan Dunia ke-77 yang digelar di Jenewa, Senin (19/05/2025). Kesepakatan ini dirancang untuk mencegah terulangnya kekacauan seperti pandemi Covid-19, dengan memperkuat koordinasi global dan pemerataan akses vaksin.
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus menegaskan momentum ini sebagai langkah bersejarah. “Perjanjian ini hasil perjuangan tanpa lelah selama tiga tahun negosiasi. Konsensus yang dicapai harus menjadi dasar respons kolektif menghadapi ancaman kesehatan masa depan,” ujarnya dalam pidato pembukaan. Teks perjanjian telah disepakati secara konsensus bulan lalu, meski tanpa partisipasi Amerika Serikat (AS) yang memilih keluar dari proses sejak era kepemimpinan Donald Trump.
Perjanjian tersebut fokus pada peningkatan deteksi dini patogen berpotensi pandemi, penguatan pengawasan global, serta menjamin akses adil negara berkembang terhadap vaksin, tes, dan pengobatan. Tedros menekankan, ketimpangan akses selama Covid-19—di mana 70% vaksin dunia dikonsumsi negara kaya—tidak boleh terulang. “Kami belajar dari kesalahan. Solidaritas internasional adalah kunci,” tambahnya.
Negosiasi sempat memanas akibat perdebatan antara negara maju dan berkembang. Negara-negara seperti Afrika Selatan dan India menuntut mekanisme yang menjamin transfer teknologi dan pembiayaan produksi vaksin lokal. Sementara kelompok negara Eropa dan AS sebelumnya menolak klausul yang dianggap membatasi hak kekayaan intelektual.
Perjanjian ini juga menghadapi penolakan dari sejumlah negara yang mengkhawatirkan ancaman terhadap kedaulatan nasional. Namun, WHO memastikan kerangka hukum tersebut tidak mengintervensi kebijakan domestik, melainkan memfasilitasi kolaborasi sukarela.
Salah satu pilar krusial dalam perjanjian adalah mekanisme Pathogen Access and Benefit-Sharing (PABS), yang mengatur pembagian patogen berpotensi pandemi dan manfaatnya. Negara anggota diberi waktu hingga Mei 2026 untuk merampungkan detail teknis sistem ini. Setelah PABS final, perjanjian baru bisa diratifikasi. Minimal 60 ratifikasi diperlukan agar berlaku efektif.
Tedros optimistis kesepakatan akan disahkan dalam voting Selasa (20/05/2025). “Ini bukan akhir, tetapi awal kerja sama global yang lebih setara. Pandemi berikutnya bisa lebih mematikan jika kita tidak bersiap,” tegasnya. []
Redaksi11