TARAKAN – Babak baru perkara korupsi Program Sarjana Kependidikan Guru dalam Jabatan (PSKGJ) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Borneo Tarakan (UBT), Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) mulai dimejahijaukan. Berdasarkan riwayat perkara Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri (PN) Samarinda, Rabu (10/10/2018) lalu perkara itu diregistrasi dan Rabu (24/10/2018) nanti, sidang perdana.
Sementara terdakwanya tiga orang, yakni Herdiansyah bin Darmansyah, Yansar bin Nandu dan Aji Wiweko Hongga Alias Ahong. Herdiansyah diketahui merupakan mantan Dekan FKIP UBT, Yansar adalah Ketua Panitia PSKGJ dan Ahong selaku pihak ketiga penyedia bahan ajar. Dalam SIPP, diketahui juga bahwa penuntut umum perkara ini adalah Tohom Hasiholan. Ia merupakan Kepala Seksi Pidana Khusus (Kasi Pidsus) Kejaksaan Negeri (Kejari) Tarakan.
Untuk dakwaan primernya, Hendriansyah, Yansar dan Ahong dijerat pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 ayat (1) UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU 31/1999) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU 20/2001) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP).
Subsidairnya, perbuatan ketiga terdakwa diancam pidana dalam Pasal 3 juncto Pasal 18 ayat (1) UU 31/1999 sebagaimana diubah UU 20/2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Lebih Subsidair, ketiga terdakwa diancam pidana dalam Pasal 9 UU 31/1999 sebagaimana diubah UU 20/2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Dalam dakwaannya, penuntut umum bakal mengajukan 263 barang bukti, mulai dari buku bahan ajar, nota belanja, sampai uang tunai.
Sementara pihak Kejari Tarakan mengungkapkan, barang bukti sebanyak itu diserahkan pihak Polres pada Rabu (10/10/2018), sehari sebelumnya, Selasa (9/10/2018), para tersangka dibawa ke Samarinda.
“Kami sudah membawa ketiga tersangka yang dikawal oleh tiga orang penyidik Satreskrim Polres (Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor, red) ke Samarinda untuk diserahkan ke Kejari Samarinda,” ungkap Kasi Pidsus, Tohom Hasiholan meneruskan arahan Kepala Kejari Tarakan, Rachmad Vidianto.
Ketiga ‘pesakitan’ dibawa ke Samarinda menggunakan pesawat Lion sekitar pukul 06.00 Wita. “Setelah tahap 2 ini para tersangka langsung dititipkan di Rutan Samarinda. Berkas ketiganya langsung limpahkan. Jadi kami tinggal menunggu jadwal penetapan kapan sidangnya akan dilakukan,” jelas Tohom.
Informasi lain dari Polres Tarakan, perkara korupsi di UBT sebenarnya sudah lama mencuat, sejak 2014 sudah dilakukan penyelidikan. Perkara babak pertama adalah terkait pemotongan honor pengajar. Berkasnya sudah dilimpahkan ke Kejari Tarakan, dinyatakan lengkap pada Oktober 2015 dan diajukan ke pengadilan Tindak Pindana Korupsi (Tipikor) di Samarinda.
Pada 27 April 2017 lalu, putusannya pun keluar. Mantan Dekan FKIP, Herdiansyah dan mantan Ketua Panitia PSKGJ Yansar divonis Majelis Hakim Tipikor dengan hukuman pidana penjara selama 1 tahun dan denda Rp50 juta subsidir 3 bulan kurungan bila tak sanggup membayar denda tersebut. Saat ini perkaranya masih berlanjut mengingat jaksa penuntut umum banding atas putusan tersebut.
Sementara tentang perkara pengadaan bahan ajar, pada awal 2016, pihak penyidik Polres Tarakan telah mendapatkan hasil audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang di antaranya menerangkan adanya potensi kerugian negara. Penyidik Polres Tarakan sedikitnya 4 kali mengajukan berkas perkara bahan ajar UBT tersebut ke Kejari, tetapi selalu dikembalikan karena dinilai belum lengkap.
Terkait status Herdiansyah dan Yansar yang saat ini masih Pegawai Negeri Sipil (PNS), Rektor UBT Adri Patton menegaskan, pihaknya belum mengambil sikap. Sebab, perkara itu belum berkekuatan hukum tetap atau inkracht. Menurutnya, status inkracht dibutuhkan untuk mengetahui hukuman yang diterima Herdiansyah dan Yansar yang pernah menjabat dosen UBT itu.
“Jika sudah inkracht, baru bisa diputuskan sanksi atas status mereka sebagai PNS. Apakah tetap dipertahankan atau diusulkan ke pusat untuk diberhentikan. Saya belum dapat putusan pengadilan sehingga kami tidak mau mengintervensi lebih dalam. Tapi, berdasarkan aturan, seorang ASN dapat diberhentikan dari kedinasan jika hukuman sudah inkracht dengan minimal 2 tahun penjara. Jika di bawah itu, masih berstatus ASN. Karena itu, ia masih menunggu putusan yang pasti,” ungkapnya kepada awak media, beberapa hari setelah mendapatkan kabar hasil putusan pengadilan Tipikor di Samarinda.
Ditegaskannya, jika hasil putusan banding menaikkan hukuman mereka di atas 2 tahun, pihaknya akan menindak sesuai aturan yang berlaku. Sebaliknya, jika tetap hanya 1 tahun, mereka masih akan tetap menjadi pegawai UBT. Hal itu berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
“Kita mengacu pada aturan, diberhentikan dengan tidak hormat. Tetapi apabila di bawah 2 tahun, maka status pegawainya masih ada. Saya berharap dihukum di bawah 2 tahun penjara mengingat mereka memiliki keluarga yang perlu dibiayai. Pihak UBT sudah memberikan bantuan hukum kepada terdakwa selama persidangan berjalan. Apa pun hasilnya nanti ia serahkan kepada proses hukum yang berlaku,” pungkasnya.
[] Penulis: Selamet[] Editor: Nursiah