SAMARINDA – Polemik status administratif Kampung Sidrap di Desa Martadinata, Kecamatan Teluk Pandan, Kabupaten Kutai Timur (Kutim), kembali menjadi sorotan publik. Persoalan ini dinilai berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum sekaligus mengganggu stabilitas sosial masyarakat.
Anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalimantan Timur (Kaltim), Agusriansyah Ridwan, mengingatkan bahwa penyelesaian sengketa wilayah tidak boleh dilakukan dengan pendekatan sepihak. Ia menilai, Pemerintah Provinsi Kaltim memiliki tanggung jawab moral dan konstitusional untuk hadir sebagai fasilitator netral dalam proses mediasi.
“Dengarkan baik-baik kedua belah pihak secara profesional dan proporsional. Tidak perlu memberi komentar berlebihan di luar konteks substansi persoalan, supaya terlihat netral dalam menyelesaikan masalah,” ujar Agusriansyah, Senin (11/08/2025).
Menurutnya, netralitas pemerintah menjadi kunci agar konflik administratif tidak semakin melebar menjadi rivalitas politik. Ia menegaskan, esensi keberadaan pemerintah provinsi bukan sekadar merespons tarik-menarik kepentingan, melainkan memastikan kedamaian dan kepastian hukum.
“Substansi keberadaan Pemprov adalah menciptakan perdamaian dan membuat terang persoalan, bukan memposisikan diri sebagai pengambil keputusan dalam memberikan argumentasi,” tambahnya.
Agusriansyah, yang juga menjabat Wakil Ketua Bapemperda DPRD Kaltim, menekankan bahwa dari sisi hukum, posisi Kampung Sidrap cukup jelas. Ia menyebut sejumlah regulasi yang menegaskan wilayah tersebut masuk dalam administrasi Kutai Timur.
Ia menyebut, mulai dari Permendagri No. 25 Tahun 2005, hingga Undang-Undang No. 47 Tahun 1999 yang tidak memasukkan Sidrap ke dalam Kota Bontang. Bahkan, Mahkamah Agung pada 2024 menolak gugatan Pemkot Bontang terhadap Permendagri tersebut.
“Dengan landasan hukum ini, seharusnya tidak ada lagi perdebatan yang berlarut. Namun yang lebih penting adalah bagaimana kita menjaga agar warga tidak dirugikan oleh konflik kepentingan,” tegasnya.
Meski menekankan legalitas, ia juga mengingatkan agar aspek sosial tidak diabaikan. Menurutnya, identitas administratif seharusnya tidak menghambat pelayanan dasar maupun pembangunan. Warga, kata dia, berhak atas akses pembangunan tanpa terjebak dalam sengketa berkepanjangan.
Pendekatan yang lebih menekankan pada kesejahteraan dan keberlanjutan, menurutnya, dapat meredam ketegangan politik sekaligus mencegah gesekan horizontal. “Mediator jangan sampai terjebak dalam politisasi kepentingan pihak tertentu yang berpotensi memicu konflik horizontal,” tandasnya.
Agusriansyah berharap, semua pihak yang terlibat dapat menempatkan kepentingan masyarakat di atas segalanya. Mediasi yang dilakukan secara bijak, terbuka, dan produktif diyakininya bisa menjadi jalan keluar dari kebuntuan ini.
“Mari selesaikan masalah ini dengan bijak demi kepentingan masyarakat, tanpa menambah ketegangan politik,” pungkasnya. [] ADVERTORIAL
Penulis: Muhammad Ihsan | Penyunting: Rasidah
Berita Borneo Terlengkap se-Kalimantan