MANILA – Rodrigo Duterte, mantan Presiden Filipina, meninggalkan warisan yang penuh dengan kontroversi. Sejak menjabat pada tahun 2016, Duterte dikenal luas dengan kebijakan kerasnya, terutama dalam perang melawan narkoba yang mengundang kecaman global. Diklaim sebagai salah satu langkah yang menekan peredaran narkoba, namun laporan dari berbagai organisasi internasional mencatat bahwa lebih dari 6.000 orang tewas dalam operasi ini. Angka ini menunjukkan dampak besar dari kebijakan yang diterapkan pemerintahannya. Banyak yang menganggap tindakan ini sebagai pelanggaran hak asasi manusia, namun bagi sebagian kalangan di Filipina, langkah tersebut dianggap perlu untuk membasmi kejahatan narkoba yang merajalela.
Selain kontroversi terkait narkoba, Duterte juga dikenal dengan pendekatan yang tegas dan sering kali dianggap mengabaikan norma internasional. Kebijakan luar negeri yang diambilnya pun tak kalah memicu reaksi dunia, terutama dalam hubungannya dengan negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Israel. Duterte mengungkapkan ketidaksukaannya terhadap Washington dan kebijakannya yang cenderung tidak sesuai dengan kepentingan Filipina, sementara pada saat yang sama, ia juga mengembangkan hubungan dekat dengan negara-negara seperti China.
Dalam dinamika internasional, Duterte kerap dibandingkan dengan sejumlah pemimpin populis lainnya, seperti Donald Trump dari Amerika Serikat, berkat gaya kepemimpinan yang tegas dan tanpa kompromi. Bahkan, Duterte dijuluki “Trump dari Asia” oleh beberapa pihak, karena gaya retorikanya yang keras dan kerap berbicara kontroversial. Namun, seiring berjalannya waktu, politik luar negeri Duterte juga menunjukkan kompleksitas, salah satunya dengan hubungan yang semakin erat dengan Israel.
Namun, jejak kepemimpinannya tidak hanya dikelilingi oleh kebijakan-kebijakan yang kontroversial, melainkan juga oleh masalah pribadi dan kesehatan. Pada Maret 2025, Duterte diberitakan tengah menghadapi situasi yang membuatnya terlibat dalam proses hukum internasional. Berita terbaru mengungkapkan bahwa mantan presiden ini dibawa ke Belanda terkait masalah yang timbul selama masa jabatannya, termasuk penyelidikan atas pelanggaran hak asasi manusia dan kebijakan kekerasan yang dilakukannya. Kejadian ini terjadi di tengah perselisihan yang terjadi di dalam negeri, termasuk mogok kerja yang terjadi di Jerman dan berhubungan dengan dampak kebijakan Duterte terhadap hubungan internasional.
Selain itu, hubungan Duterte dengan pemimpin negara-negara lainnya juga turut mempengaruhi geopolitik kawasan. Salah satu yang menarik perhatian adalah hubungan Duterte dengan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu. Kedua pemimpin ini diketahui memiliki pandangan yang serupa dalam sejumlah isu, termasuk kebijakan luar negeri yang menantang arus utama, meskipun gaya kepemimpinan mereka sangat berbeda.
Puncak dari kontroversi ini terjadi ketika Duterte, yang sempat mendeklarasikan diri sebagai “anti-establishment” dan menantang banyak norma internasional, kini berada dalam posisi yang semakin sulit. Tak hanya di Filipina, namun di mata dunia, tindakan dan kebijakan yang ia buat meninggalkan dampak yang mendalam, baik itu dalam segi politik, hak asasi manusia, hingga hubungan diplomatik antarnegara. Meskipun Duterte telah selesai menjabat, bayang-bayang kebijakannya masih terus membayangi perjalanan politik Filipina dan dampaknya terhadap dunia internasional. []
Redaksi03