India Dianggap Abaikan Tetangga Demi Dominasi Dunia

NEW DELHI – Sebagai kekuatan ekonomi terbesar keempat di dunia, India semakin mantap menunjukkan dirinya sebagai aktor global. Perdana Menteri Narendra Modi mengklaim negaranya sedang “tampil sebagai pemimpin global dalam teknologi luar angkasa, Kecerdasan Buatan (AI/Artificial Intelligence), inovasi digital, sampai teknologi hijau”. Namun, langkah India yang semakin berani di panggung dunia memunculkan kekhawatiran di antara para pengamat, terutama terkait dampaknya terhadap hubungan dengan negara-negara tetangganya di kawasan Asia Selatan.

Kebangkitan India terjadi ketika negara-negara Asia Selatan lainnya menghadapi beragam krisis. Afganistan terjerembap dalam kemiskinan ekstrem pasca pengambilalihan kekuasaan oleh Taliban. Di Myanmar, ketidakstabilan politik di bawah rezim militer belum mereda. Sementara itu, Pakistan, Sri Lanka, dan Bangladesh terpaksa meminta bantuan finansial dari Dana Moneter Internasional (IMF). Ketegangan antarumat beragama juga meningkat di India, menyebabkan gelombang kekerasan di berbagai wilayah.

Di tengah situasi tersebut, pengaruh Cina di kawasan terus berkembang melalui kemitraan ekonomi dan strategi yang lebih agresif. Ketika Modi mulai menjabat pada 2014, ia mengusung kebijakan “Neighborhood First” untuk mempererat relasi regional. Namun, setelah satu dekade, komitmen ini dinilai mulai meredup. Chietigj Bajpaee, peneliti senior dari Chatham House, London, menilai bahwa Asia Selatan tetap menjadi titik lemah dalam kebijakan luar negeri India. Ia menyebut pendekatan India sebagai bentuk “pengabaian halus”.

Alih-alih memperkuat solidaritas kawasan, India tampak lebih fokus menjalin aliansi dengan negara-negara besar di Barat maupun Asia Timur. India juga dinilai tidak menunjukkan inisiatif nyata untuk menghidupkan kembali SAARC, organisasi kerja sama regional yang sudah membeku sejak 2016, ketika India menarik diri dari KTT SAARC di Islamabad setelah serangan mematikan di Kashmir.

Kanak Mani Dixit, jurnalis asal Nepal dan pendiri majalah Himal Southasian, menilai bahwa India cenderung mengambil keputusan sepihak tanpa melibatkan negara-negara tetangga. Ia menyoroti peluncuran satelit SAARC pada 2014 sebagai contoh buruk karena dilakukan tanpa konsultasi. “Etika dasar bertetangga seharusnya melibatkan pembicaraan bersama,” katanya. Menurutnya, pendekatan yang terlalu dominan justru menyulut ketegangan di negara-negara seperti Nepal dan Sri Lanka.

Bajpaee juga menyebut bahwa Cina justru memulai dengan membangun keterhubungan regional sebelum memperluas pengaruh secara global, sedangkan India memilih arah sebaliknya. Padahal, menurut laporan Bank Dunia, Asia Selatan adalah kawasan dengan tingkat keterhubungan ekonomi terendah di dunia. Perdagangan antarnegara di kawasan ini hanya menyumbang sekitar lima persen dari total perdagangan, jauh tertinggal dibandingkan Uni Eropa yang mencapai sekitar 60 persen.

Biswajeet Dhar, ekonom India, menyatakan bahwa kawasan Asia Selatan sebenarnya memiliki potensi ekonomi yang besar dalam sektor tekstil, farmasi, energi, dan jasa. Namun, peluang tersebut belum dimaksimalkan karena konflik politik yang belum terselesaikan. Ganeshan Wignaraja, ekonom asal Sri Lanka, menambahkan bahwa pengabaian India terhadap kawasan akan memberi celah bagi kekuatan luar seperti Cina untuk memperbesar pengaruh. “Kalau India terus mengabaikan kawasan, negara lain seperti Cina akan masuk. Itu bisa merugikan India sendiri, termasuk dari sisi keamanan nasional,” katanya.

Konflik diplomatik antara India dan Pakistan juga menjadi hambatan besar. Hubungan dagang yang terputus antara kedua negara dinilai merugikan semua pihak. Di saat India semakin fokus pada kemitraan global, Cina telah terlebih dahulu berinvestasi di berbagai proyek infrastruktur di Bangladesh, Sri Lanka, dan Pakistan.

Menurut Dixit, persepsi bahwa India ingin mendominasi kawasan harus diubah jika negara tersebut ingin diterima sebagai kekuatan global. “India ingin negara-negara lain di Asia Selatan bersikap tunduk,” ujarnya. “Padahal kalau India ingin tampil kuat di panggung global, ia harus berdamai dengan tetangganya dengan mengakui hubungan yang setara dan kedaulatan masing-masing.”

Bajpaee menegaskan bahwa pendekatan seperti “spheres of influence” sudah tidak relevan. Ia menilai India harus mengedepankan kerja sama jangka panjang dibandingkan kalkulasi geopolitik sesaat. Ia menyinggung proyek pipa gas Iran–Pakistan–India yang dibatalkan karena tekanan Amerika Serikat, padahal proyek tersebut bisa memperkuat konektivitas energi kawasan dan menjadi langkah menuju perdamaian.

Saat ini India mulai mengalihkan perhatian diplomatiknya ke kawasan Indo-Pasifik, termasuk melalui aliansi Quad yang mencakup Amerika Serikat, Jepang, dan Australia. Namun, para pengamat menilai, ambisi India menjadi kekuatan global akan terhambat jika kawasan sekitarnya tetap dilanda ketidakstabilan. “Kalau India ingin berperan lebih luas di dunia, ia harus lebih dulu membangun hubungan baik dengan negara-negara di sekitarnya,” ujar Bajpaee.

Dixit juga mengingatkan bahwa ambisi India untuk memperoleh hak veto di Dewan Keamanan PBB bergantung pada legitimasi regional yang kuat. “Kalau kawasan berantakan dan India tidak ikut turun tangan, itu justru memperlemah posisinya sendiri,” katanya. Wignaraja menutup dengan pernyataan bahwa “India mungkin bisa bangkit sendirian. Tapi ia akan jauh lebih kuat jika bangkit bersama negara-negara tetangganya.” []

Admin05

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com