KUTAI KARTANEGARA – Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan sebagian permohonan dari Pasangan Calon Nomor Urut 03, Dendi Suryadi dan Alif Turiadi, yang meminta agar Edi Damansyah didiskualifikasi sebagai calon bupati dalam Pilkada Kutai Kartanegara 2024.
Dengan didiskualifikasinya Calon Bupati Nomor Urut 3, maka Majelis Hakim Konstitusi juga membatalkan keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Kutai Kartanegara Nomor 1893 Tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pemilihan 2024 Tentang Penetapan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Kutai Kartanegara tahun 2024, Nomor 1131 Tahun 2024 tentang Penetapan Pasangan Calon Peserta Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kutai Kartanegara Tahun 2024, serta Nomor 1132 Tahun 2024 tentang Penetapan Nomor Urut Pasangan Calon Peserta Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kutai Kartanegara Tahun 2024.
Dalam amar putusannya, MK memerintahkan partai politik atau gabungan partai politik pengusung Edi Damansyah untuk mengajukan pengganti calon bupati tersebut, tanpa mengganti pasangan calon Rendi Solihin dan tidak merubah nomor urut 1.
Selanjutnya, Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dalam pertimbangan hukumnya menjelaskan bahwa perdebatan mengenai masa jabatan calon kepala daerah pada Pilbup Kutai Kartanegara 2024 mengacu pada Putusan MK Nomor 2/PUU-XXI/2023, yang menyatakan bahwa masa jabatan dihitung jika telah dijalani lebih dari setengah periode, tanpa membedakan apakah jabatan tersebut dipegang oleh pejabat definitif atau sementara. Dalam putusan MK Nomor 129/PUU-XXI/2024, masa jabatan merujuk pada waktu yang dijalani secara nyata, bukan hanya berdasar pelantikan.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, MK memutuskan bahwa masa jabatan Edi Damansyah sebagai Wakil Bupati sekaligus Pelaksana Tugas Bupati Kutai Kartanegara harus dihitung sejak Keputusan Gubernur Kalimantan Timur terbit pada 10 Oktober 2017. Oleh karena itu, masa jabatan pertama Edi Damansyah dihitung mulai 10 Oktober 2017 hingga 25 Februari 2021, yang berjumlah 3 tahun 4 bulan 15 hari, atau lebih dari 2 tahun 6 bulan. Sehingga, masa jabatan Edi pada periode pertama (2017-2021) telah melampaui setengah dari masa jabatan, sehingga dihitung sebagai satu periode penuh.
“Dengan ini, Mahkamah Konstitusi tidak ragu untuk mendiskualifikasi Drs. Edi Damansyah sebagai calon Bupati dalam Pilkada Kutai Kartanegara 2024,” kata Guntur, Senin (24/02/2025) sore.
Setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk mendiskualifikasi Edi Damansyah sebagai calon Bupati dalam Pemilihan Bupati Kutai Kartanegara (Kukar) 2024, Edi Damansyah bersama Rendi Solihin mengadakan konferensi pers.
Dalam kesempatan tersebut, Edi Damansyah mengungkapkan rasa hormatnya terhadap keputusan hukum yang telah diambil oleh MK, dan mengimbau kepada seluruh pendukungnya untuk tetap menjaga ketenangan serta mendukung terciptanya situasi yang kondusif.
Edi Damansyah, yang sebelumnya menjabat sebagai Bupati Kutai Kartanegara selama dua periode, menyatakan meski tidak bisa mencalonkan diri lagi dalam Pilkada 2024, dirinya tetap mendukung pelaksanaan pemilihan yang jujur dan adil.
“Saya meminta agar semua pendukung saya tetap kompak dan berpartisipasi dalam Pemungutan Suara Ulang (PSU) yang diperintahkan oleh MK tanpa keikutsertaan saya,” ujar Edi Damansyah.
Setelah Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan putusan perkara Nomor 195/PHPU.BUP-XXIII/2025 tersebut, media beritaborneo.com berupaya mengonfirmasi pandangan sejumlah pihak terkait implikasi hukum dari keputusan tersebut.
Adapun narasumber yang dihubungi adalah seorang praktisi hukum sekaligus akademisi dari Universitas Kutai Kartanegara, La Ode Ali Imran, S.H., M.H.
Menanggapi Putusan MK tersebut, La Ode Ali Imran seorang praktisi hukum sekaligus akademisi dari Universitas Kutai Kartanegara (Unikarta) mengungkapkan bahwa sudah sejak sebelum masa pencalonan calon Bupati dan Wakil Bupati Kukar, ia menilai bahwa Edi Damansyah telah melebihi batas pencalonan, yakni sebanyak 2 kali masa jabatan, namun pihak Edi tetap maju dan mencalonkan diri, menyebabkan dampak kerugian di masyarakat, yang dalam hal ini merujuk pada kegiatan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di seluruh TPS di Kukar.
“Saya sudah selalu mengingatkan dalam beberapa pernyataan dan kajian hukum beliau, Bapak Edi Damansyah tidak bisa lagi mencalonkan, karena terhalang syarat periodesasi masa jabatan. Bila ia tetap mencalonkan, maka itu membuat cacat hukum,” terang La Ode, Senin (24/02/2025).
La Ode menjelaskan dasar dari batas pencalonan itu sendiri telah diatur dalam ketentuan Pasal 7 Ayat 2 huruf n UU.10/2016 dan secara nyata senada pula dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67, 22, 02, dan 129 serta MK tidak mengubah pendiriannya mengenai perhitungan masa jabatan calon.
Analisisnya merujuk pada dugaan pelanggaran prosedur hukum dalam proses pencalonan Edi Damansyah sebagai peserta pemilihan calon Bupati Kabupaten Kutai Kartanegara. Menurutnya, MK konsisten dengan putusan-putusan sebelumnya yang menegaskan pentingnya kepatuhan terhadap asas hukum dan demokrasi dalam proses pencalonan.
“Mereka (pihak Edi) tetap masih tidak percaya. Jangan jadi pengaisan.” tegasnya lagi.
Di sisi lain, tim hukum pasangan Edi-Rendi diwakili oleh Supardi juga memberikan respons singkat terkait putusan MK sore ini. Ia menilai bahwa Putusan MK bersifat final dan harus dihormati. Pihaknya mengakui bahwa hal tersebut telah diluar kapasitas mereka.
“Sebagai warga negara hukum harus taat kepada hukum. Hal tersebut di luar kapasitas sebagai Tim Hukum Edi-Rendi. Biarlah jadi kewenangan partai itu,” tegas Supardi.
Pernyataan ini mengindikasikan bahwa tim hukum pasangan tersebut memilih untuk tidak ikut campur dalam proses politik lanjutan. Mereka kini berfokus mereka tetap pada penerimaan putusan MK sebagai bentuk penghormatan terhadap supremasi hukum.
Putusan perkara Nomor 195/PHPU.BUP-XXIII/2025 sendiri menjadi sorotan publik karena dinilai berdampak pada peta persaingan politik regional. Meski tidak dijelaskan secara rinci dalam putusan, isu cacat hukum yang diangkat La Ode Ali Imran diduga terkait ketidaklengkapan dokumen atau pelanggaran administratif dalam proses pencalonan.
Keterangan kedua pihak ini menyiratkan polarisasi sikap: satu sisi mengkritik cacat prosedural, sementara sisi lain menyerahkan sepenuhnya kepada mekanisme hukum yang berlaku.
Di tengah situasi ini, publik diharapkan dapat menilai objektivitas putusan MK berdasarkan fakta hukum yang terang dan akuntabel. []
Penulis: Muhammad Yusuf | Penyunting: Nistia Endah Juniar Prawita