Polisi Jadi Perampok, Polresta Pati Bertindak Tegas

JAWA TENGAH — Sebuah peristiwa yang mencengangkan warga Kabupaten Pati, Jawa Tengah, terungkap ke publik awal tahun ini. Bukan karena skala kejahatannya yang luar biasa, melainkan karena pelakunya adalah seseorang yang seharusnya menegakkan hukum, bukan melanggarnya.

Adalah Rifki Sarandi (30), anggota aktif Polsek Pati berpangkat bintara jaga, yang tersandung kasus perampokan bersama rekannya, Herlangga Nurcahyo (33). Peristiwa ini bukanlah perampokan biasa. Ia terjadi pada malam hari, tepatnya Selasa, 27 Februari 2024, sekitar pukul 22.30 WIB. Minimarket yang menjadi sasaran kala itu telah tutup, namun sebuah kelalaian membuat pintu depan tidak terkunci, dan itulah celah yang dimanfaatkan kedua pelaku.

Malam itu, karyawan minimarket yang sedang menghitung hasil penjualan di ruang belakang tak menyangka akan menjadi korban aksi nekat dua pria bersenjata tajam. Celurit yang dibawa oleh pelaku menjadi alat intimidasi utama. Tanpa banyak bicara, keduanya menyekap sang karyawan dan memaksanya membuka brankas berisi uang tunai sebesar Rp13 juta.

Dalam kondisi terikat dan terancam, tak ada banyak pilihan bagi korban selain menurut. Setelah berhasil menggasak uang, Rifki dan Herlangga kabur, meninggalkan trauma mendalam bagi karyawan minimarket tersebut.

Hampir satu tahun berlalu sejak perampokan itu terjadi. Perkara tersebut sempat menjadi teka-teki bagi pihak berwenang maupun masyarakat. Tidak banyak yang menduga bahwa salah satu pelaku adalah aparat aktif. Sampai akhirnya, pada Maret 2025, titik terang muncul.

Tim dari Polresta Pati berhasil menangkap Herlangga Nurcahyo, yang selama ini bersembunyi dari kejaran hukum. Dari penangkapan itulah terbuka satu nama lagi yang mengejutkan: Rifki Sarandi, sosok yang selama ini berdinas dan masih mengenakan seragam kepolisian.

Penangkapan Rifki menjadi pukulan berat bagi institusi Polri, khususnya di lingkungan Polda Jawa Tengah. Kombes Pol Artanto, Kabid Humas Polda Jateng, tak menutup-nutupi kekecewaannya. Dalam keterangan pers yang disampaikan pada Senin (28/4/2025), ia menegaskan sikap tegas institusi terhadap oknum anggota yang terlibat tindak pidana.

“Untuk anggota yang melakukan tindak pidana seperti ini, kami tidak akan mentolerir. Sidang kode etik segera digelar, dengan ancaman hukuman maksimal Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH),” tegas Artanto.

Pernyataan tersebut sekaligus menegaskan bahwa Polri tidak akan menutup mata terhadap kesalahan di internalnya. Meski demikian, publik terlanjur kecewa.

Tidak dapat dimungkiri, kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian tengah diuji kembali. Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, sejumlah kasus yang melibatkan oknum aparat mulai dari korupsi, kekerasan, hingga pelanggaran hukum berat lainnya terus mencuat ke permukaan.

Kasus Rifki Sarandi hanya satu dari sekian contoh. Yang membuatnya mencolok adalah posisinya sebagai bintara jaga—seseorang yang semestinya menjadi garda depan pelayanan masyarakat.

“Ini sangat mengecewakan. Polisi seharusnya melindungi kami, bukan malah menakuti,” kata Winarno, warga Kecamatan Pati Kota, saat ditemui pasca mencuatnya kasus ini.

Pandangan senada juga disampaikan LSM pemantau kinerja aparat di Jawa Tengah. Mereka menyoroti lemahnya sistem pengawasan internal serta tidak optimalnya pelaksanaan evaluasi mental dan kepribadian anggota.

“Jika sistem seleksi dan evaluasi berjalan ketat dan berkelanjutan, seharusnya perilaku menyimpang seperti ini bisa terdeteksi lebih awal,” ujar Rini Puspitasari, Ketua Lembaga Advokasi Masyarakat Madani Jawa Tengah.

Meski mengecewakan, namun penegakan hukum yang dilakukan terhadap Rifki dan Herlangga juga mendapat apresiasi dari sebagian kalangan. Bahwa hukum tetap berjalan meskipun pelakunya adalah bagian dari institusi itu sendiri menjadi bukti bahwa supremasi hukum masih memiliki ruang.

Rifki dan Herlangga saat ini telah ditahan di Polresta Pati. Keduanya menunggu proses hukum yang berjalan, termasuk persidangan yang akan menentukan nasib mereka selanjutnya. Di sisi lain, Rifki juga menghadapi sidang etik internal kepolisian yang kemungkinan besar akan berujung pada pemecatan.

Proses ini menjadi ujian tidak hanya bagi individu yang terlibat, tetapi juga bagi komitmen Polri dalam membersihkan diri dari oknum yang menyimpang. Masyarakat, pada akhirnya, hanya menginginkan satu hal: keadilan dan rasa aman dari orang-orang yang selama ini mereka percaya.

Di luar ruang sidang, kasus ini meninggalkan luka sosial. Bagi korban yang disekap dalam minimarket, trauma akibat ancaman senjata tajam dan penyekapan di ruang sempit tidak akan mudah hilang. Bahkan hingga kini, ia memilih untuk tidak kembali bekerja di lokasi yang sama.

“Saya takut kalau hal itu terjadi lagi. Apalagi pelakunya ternyata polisi,” ungkap korban yang identitasnya dirahasiakan demi keamanan.

Rasa takut yang dialami korban menggambarkan bahwa efek dari sebuah tindak kejahatan tak berhenti di pengadilan. Ia menempel dalam kehidupan seseorang, memengaruhi cara mereka memandang keamanan, dan pada kasus ini, juga memudarkan kepercayaan terhadap institusi yang seharusnya menjadi pelindung.

Dari setiap peristiwa buruk, selalu ada pelajaran yang dapat dipetik. Kasus Rifki Sarandi menjadi momentum refleksi, bahwa reformasi internal di tubuh kepolisian harus terus dilanjutkan dan diperkuat.

Pengawasan bukan hanya harus datang dari atas ke bawah, tetapi juga dari publik sebagai pemegang kedaulatan. Keterbukaan informasi, transparansi proses hukum, serta konsistensi dalam menindak pelanggar menjadi pilar penting yang harus terus ditegakkan.

Karena pada akhirnya, kepercayaan masyarakat bukan dibangun dari seragam atau pangkat, melainkan dari integritas dan keteladanan. Dan ketika seorang polisi justru melukai amanah itu, maka pertanggungjawaban bukan hanya soal hukum—tetapi juga soal harga diri sebuah institusi. []

Redaksi11

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com