KUTAI KARTANEGARA – Di sebuah panggung sederhana, terlihat sekumpulan anak-anak dengan wajah ceria dan penuh semangat. Mereka melantunkan bait-bait puisi, mendalami peran dalam latihan teater, serta menari dengan penuh kekhidmatan. Inilah suasana yang dapat ditemukan di Terminal Olah Seni (TOS), tempat yang sejak tahun 1987 menjadi wadah bagi tumbuhnya bakat seni bagi generasi muda di Kutai Kartanegara.
Terminal Olah Seni, yang lebih dikenal sebagai TOS, memang bukan sekadar tempat bagi anak-anak untuk belajar seni. TOS telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah seni budaya di Kutai Kartanegara. Namun, perjalanan TOS untuk terus berkembang tak selalu mulus. Komunitas ini sempat vakum beberapa waktu setelah beroperasi, sebelum akhirnya dihidupkan kembali oleh seorang pemuda asal Tenggarong, Deprianur.
Deprianur, yang lahir pada 10 September 1995, merupakan anak kedua dari pasangan Apin Darmawan dan Mardiana. Tumbuh besar dengan kecintaan terhadap seni, Deprianur merasa terikat secara emosional dengan TOS, bukan hanya karena minatnya dalam dunia seni, tetapi juga karena kedua orang tuanya pertama kali bertemu di komunitas ini.
“Saya ingin melanjutkan perjuangan para pendiri TOS agar seni tetap hidup. Seni adalah identitas kita, dan saya ingin anak-anak Kutai Kartanegara memiliki ruang untuk berkembang di bidang ini,” ungkap Deprianur dengan penuh semangat.
TOS pertama kali didirikan oleh tiga tokoh seni terkemuka Kutai Kartanegara, yakni Karno Wahid, Masriadi Kolok, dan Budi Warga. Pada masa awal berdirinya, TOS mengadakan lomba baca puisi sebagai ajang seleksi bagi mereka yang ingin bergabung untuk mengasah kemampuan seni mereka lebih lanjut. Selain itu, tujuan utama TOS adalah mengenalkan nilai-nilai seni, mengasah kepekaan sosial, serta memberikan keberanian bagi anak-anak untuk tampil di ruang publik.
Seiring waktu, TOS berkembang menjadi ruang belajar yang lebih luas. Mereka tidak hanya mengajarkan puisi, tetapi juga drama, teater, seni musik, tari, dan seni rupa. TOS memiliki misi untuk membentuk pribadi-pribadi muda yang kreatif, percaya diri, dan mampu mengenal lebih jauh seni dan budaya lokal.
Meski memiliki sejarah yang panjang, TOS sempat mengalami kevakuman. Pada tahun 2017, Deprianur memutuskan untuk menghidupkan kembali yayasan ini. Saat itu, ia pun mendapatkan restu dari almarhum Budi Warga, salah satu pendiri TOS yang masih hidup. “Beliau menyambut baik niat saya. Saya merasa terhormat bisa meneruskan perjuangan mereka,” kata Deprianur ketika ditemui oleh media ini, Kamis (13/02/2025).
Namun, menghidupkan kembali TOS bukanlah perkara mudah. Salah satu kendala utama yang dihadapi adalah kurangnya fasilitas latihan dan tempat pertunjukan. Dengan semangat pantang menyerah, bersama timnya, Deprianur berhasil membangun fasilitas latihan yang lebih baik dan memiliki panggung pertunjukan yang lebih memadai.
Berbeda dengan sekolah seni pada umumnya, TOS tidak memberlakukan seleksi ketat. Siapa saja yang berminat dan memiliki niat kuat untuk belajar seni dapat bergabung. Namun, mereka membatasi usia peserta, yakni dari kelas 3 SD hingga SMA.
“Yang paling penting adalah anak-anak mau belajar dan berproses. Kami ingin mereka menjadi pribadi yang kreatif dan percaya diri,” ujar Deprianur.
Setiap anak yang telah belajar selama satu tahun akan mengikuti ujian pentas. Di sini, mereka dapat menunjukkan kemampuan mereka di hadapan publik. Selain itu, mereka juga mendapat bimbingan dari berbagai guru tamu yang diundang dari berbagai bidang seni, seperti seni rupa, musik, dan tari. Di TOS, tidak hanya keterampilan seni yang dikembangkan, tetapi juga pembentukan karakter dan kepekaan sosial.
Keberhasilan TOS dalam membangkitkan kembali semangat seni di Tenggarong mendapatkan apresiasi dari pemerintah daerah. Pada tahun 2023 dan 2024, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kutai Kartanegara memberikan kepercayaan kepada TOS untuk menangani pertunjukan tari kolosal dalam Festival Erau, sebuah acara kebudayaan terbesar di Kutai Kartanegara. Dalam produksi besar tersebut, TOS harus mengelola 800 penari dalam satu pertunjukan.
“Alhamdulillah, kami sudah dua tahun berturut-turut dipercaya untuk mengeksekusi pertunjukan ini. Ini adalah bukti bahwa seni di Kutai Kartanegara masih memiliki tempat,” ujar Deprianur dengan penuh kebanggaan.
Saat ini, TOS memiliki 50 anggota, dengan 25 di antaranya aktif berlatih. Meskipun ada anggota yang absen karena kesibukan sekolah atau pekerjaan, mereka tetap menjadi bagian dari komunitas ini. Tantangan terbesar yang dihadapi TOS adalah menjaga semangat anak-anak agar tidak jenuh dalam latihan.
“Melatih anak-anak bukan hanya soal keterampilan seni, tetapi juga bagaimana membuat mereka tetap bersemangat. Kami selalu mencoba mencari metode latihan yang interaktif dan menyenangkan,” ungkap Deprianur.
Selain itu, TOS juga berharap dapat terus berkembang dan menjadi wadah bagi lebih banyak anak-anak di Kutai Kartanegara.
“Kami ingin seni dan budaya lokal semakin dikenal, tidak hanya di tingkat nasional, tetapi juga internasional. Kutai Kartanegara memiliki seni yang kaya dan indah, dan kami ingin dunia melihat itu,” tambahnya.
Bagi Deprianur, mengelola TOS bukan hanya pekerjaan, tetapi panggilan jiwa. “Kami akan tetap setia melakukan ini, karena bagi kami, seni adalah kehidupan,” pungkasnya.
Terminal Olah Seni (TOS) bukan hanya sekadar tempat belajar seni, tetapi juga ruang bagi anak-anak untuk berkembang, menemukan jati diri, dan melestarikan budaya lokal. Dengan semangat yang terus menyala, TOS berkomitmen untuk menjaga api seni tetap hidup di Kutai Kartanegara. Siapa tahu, dari panggung sederhana di Tenggarong ini, akan lahir generasi seniman yang membawa seni Indonesia ke panggung dunia. []
Penulis : Anggi Triomi